Sabtu, 01 Maret 2014

URGENSI PEMBAHASAN FIQIH di MA


Urgensi Pembahasan Fiqih di MA


Mata Pelajaran Fiqih dalam kurikulum Madrasah Aliyah adalah bagian dari mata pelajaran Pendidikan Agama Islam yang diarahkan untuk menyiapkan peserta didik untuk mengenal,  memahami, menghayati dan mengamalkan hukum Islam, yang kemudian menjadi dasar pandangan hidupnya melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, penggunaan pengalaman, pembiasaan dan keteladanan.
Mata pelajaran Fiqih Madrasah Aliyah ini meliputi: Fiqih Ibadah, Fiqih Muamalah, Fiqih Munakahat, Fiqih Jinayah, Fiqih Siyasah, dan Ushul Fiqih. Hal ini  menggambarkan bahwa ruang lingkup Fiqih mencakup perwujudan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah Swt., dengan diri sendiri, sesama manusia, makhluk lainnya, maupun lingkungannya (hablun minallah wa hablun minannas).
Pembelajaran Fiqih di Madrasah Aliyah bertujuan untuk membekali peserta didik agar dapat: (1) mengetahui dan memahami pokok-pokok hukum Islam  secara terperinci dan menyeluruh, baik berupa dalil naqli dan aqli. Pengetahuan dan pemahaman tersebut diharapkan menjadi pedoman hidup dalam kehidupan pribadi dan sosial, (2) melaksanakan dan mengamalkan ketentuan hukum Islam dengan benar. Pengamalan tersebut diharapkan dapat menumbuhkan ketaatan menjalankan hukum Islam, disiplin dan tanggung jawab sosial yang tinggi dalam kehidupan pribadi maupun sosialnya. Dari pemaparan diatas menunjukkan bahwa pembahasan fiqih di Ma menjadi urgen.
Seorang siswa yang muslim dengan seorang siswa non muslim tidak dibedakan berdasarkan KTP-nya. Juga tidak dibedakan berdasarkan ras, darah, golongan, bahasa, kebangsaan atau keturunan tertentu. Tetapi yang membedakan antara keduanya adalah berdasarkan apa yang diketahuinya tentang ajaran Islam serta diyakini kebenarannya. Tidak mungkin seorang siswa bisa dikatakan Muslim manakala dia tidak mengenal Allah SWT. Dan tidak lah seseorang mengenal Allah SWT, manakala dia tidak mengenal ajarn-Nya serta syariat yang telah diturunkn-Nya. Sehingga mengetahui ilmu-ilmu fiqih merupakan bagian tak terpisahkan dari status keislaman seseorang siswa. Maka sudah seharusnya seorang siswa menguasai ilmu syariah, karena syariat itu merupakan penjabaran serta uraian dari perintah Allah SWT kepada hamba-Nya. Tanpa adanya ilmu tentang semua hal itu, status sebagai Muslim nyaris hanya tinggal formalitas belaka. Keislamannya boleh jadi hanya karena kebetulan orang tuanya muslim, lahir di tengah keluarga uslim, sehingga setidak-tidaknya KTP-nya ada tulisannya sebagai Muslim.
Selanjutnya, sumber utama ajaran Islam adalah Al Quran dan As Sunnah. Namun bagaimana mengambil kesimpulan hukum atas suatu masalah dengan menggunakan dalil-dalil yang sedemikian banyak, harus ada sebuah metodologi yang ilmiyah yang baku dan disepakati oleh umat Islam sepanjang zaman. Dan metodologi itu adalah ilmu fiqih. Ilmu fiqih telah berhasil menjelaskan dengan pasti dan tepat tentang hukum-hukum yang terkandung pada tiap potong ayat dan hadits yang bertebaran. Dengan menguasai ilmu fiqih, maka Al Quran dan As Sunnah bisa dipahami dengan benar, tepat dan akurat, sebagaimana Rasulullah SAW dahulu mengajarkannya. Sebaliknya, tanpa penguasaan ilmu fiqih, Al Quran dan As Sunnah bisa diselewengkan dan dimanfaatkan dengan cara yang tidak benar. Ilmu fiqih adalah kunci untuk memahami Al Quran dan As Sunnah dengan metode yang benar, ilmiyah dan shahih.
Misalnya dalam Al Quran disebutkan bahwa pencuri harus dipotong tangannya, pezina harus dirajam, pembunuh harus diqishash dan seterusnya. Memang demikian dzhahir nash ayat Al Quran. Namun benarkah semua pencuri harus dipotong tangannya? Apakah semua orang yang berzina harus dirajam? Apakah semua orang yang membunuh harus dibunuh juga?. Di dalam ilmu fiqih akan dijelaskan kriteria pencuri yang bagaimanakah yang harus dipotong tangannya. Tidak semua orang yang mencuri harus dipotong tangan. Ada sekian banyak persyaratan yang harus terpenuhi agar seorang pencuri bisa dipotong tangan. Misalnya barang yang dicuri harus berada dalam penjagaan, nilainya sudah memenuhi batas minimal, bukan milik umum dan lainnya. Bahkan kriteria seorang pencuri tidak sama dengan pencopet, jambret, penipu atau koruptor.
Demikian juga dengan pezina, tidak semua yang berzina harus dihukum rajam. Selain hanya yang sudah pernah menikah, harus ada empat orang saksi lakil-laki, akil, baligh, dan menyaksikan secara bersama di waktu dan tempat yang sama melihat peristiwa masuknya kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan perempuan. Tanpa hal itu, hukum rajam tidak boleh dilakukan. Kecuali bila pezina itu sendiri yang menyatakan ikrar dan pengakuan atas zina yang dilakukannya. Dan yang paling penting, hukum rajam haram dilakukan kecuali oleh sebuah institusi hukum formal yang diakui dalam sebuah negara yang berdaulat.
Dibandingkan dengan masalah aqidah, akhlaq atau pun bidang lainnya, masalah-masalah dalam ilmu fiqih menempati porsi terbesar dalam khazanah ilmu-ilmu keislaman. Bahkan yang disebut dengan ulama itu lebih identik sebagai orang yang ahli di bidang ilmu fiqih ketimbang ahli di bidang lainnya. Sehingga sebagai ilmu yang merupakan porsi terbesar dalam ajaran Islam, ilmu syariah ini menjadi penting untuk dikuasai. Karena hal ini menyangkut dalam kaitannya masalah beribadah.
Para ulama syariah terbiasa berbeda pendapat, karena berbeda hasil ijtihad sudah menjadi keniscayaan. Namun mereka sangat menghormati perbedaan diantara mereka. Sehingga tidak saling mencaci, menjelekkan atau menafikkan. Sebaliknya, semakin awam seseorang terhadap ilmu syariah, biasanya akan semakin tidak punya mental untuk berbeda pendapat. Sedikit perbedaan di kalangan mereka sudah memungkinkan untuk terjadinya perpecahan, pertikaian, bahkan saling menjelekkan satu sama lain. Hal itu terjadi karena seseorang hanya berpegangan kepada dalil yang sedikit dan parsial. Tetapi merasa sudah pandai dan paling benar sendiri. Padahal dalil yang diyakininya paling benar itu masih harus berhadapan dengan banyak dalil lainnya yang tidak kalah kuatnya. Jadi bagaimana mungkin dia merasa paling benar sendiri?
Paling tidak, dengan mempelajari ilmu syariah, kita jadi tahu bahwa pendapat yang kita pegang ini bukanlah satu-satunya pendapat. Di luar sana, masih ada pendapat lainnya yang tidak kalah kuatnya dan sama-sama bersumber dari kitab dan sunnah juga. Maka kita jadi memahami perbandingan mazhab di kalangan para fuqaha, sebab mereka memang punya kapasitas untuk melakukan istimbath hukum dengan masing-masing manhaj dan metodologinya.
Agama Islam telah dijamin tidak akan hilang dari muka bumi sampai kiamat, namun tidak ada jaminan bila umatnya mengalami kemunduran dan kejatuhan. Sejarah membuktikan bahwa mundurnya umat Islam terjadi manakala para ulama telah wafat dan tidak ada lagi ahli syariah di tengah umat. Sebaliknya, bila Allah SWT menghendaki kebaikan pada umat Islam, niscaya akan dimulai dari lahirnya para ulama dan kembali manusia kepada syariat-Nya.
Racun pemikiran Orientalis dan Sekuleris tidak akan mempan bila tubuh umat diimunisasi dengan pemahaman syariah yang mendasar dan matang. Sebaliknya, bila tingkat pemahaman umat terhadap syariah asal-asalan dan lemah, maka dengan mudah pemikiran orientalis akan merasuk dan menjangkiti. Sebaliknya, bila umat ini punya tingkat pemahaman yang mendalam terdapat ilmu syariah, semua tipu daya itu akan menjadi mentah.
Pemahaman syariat Islam akan menjadi filter atas kerusakan umat. Sebaliknya, semakin awam dari syariat, umat ini akan semakin menjadi bulan-bulanan pemikiran yang merusak. Sikap-sikap ekstrim dan keterlaluan dalam pelaksanaan agama seringkali menimpa banyak umat Islam. Barangkali niatnya sudah baik, yaitu ingin menjalankan ajaran agama. Tetapi bila semangat itu tidak diiringi dengan ilmu syariah yang benar, sangat besar kemungkinan terjadi kesalahan fatal yang merugikan. Dahulu di masa shahabat ada seorang yang terluka di kepala. Seharusnya dia tidak boleh mandi karena parah sakitnya. Namun dia berjunub pada malamnya dan pagi hari dia bertanya kepada temannya, apakah dia harus mandi atau tidak. Temannya mengatakan bahwa dia harus mandi. Lalu mandilah dia dan tidak lama kemudian meninggal. Betapa sedih Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tatkala mendengar kabar itu. Sebab teman yang memberi fatwa itu bertindak tanpa ilmu dan menyebabkan kematian. Padahal seharusnya dalam kondisi demikian, cukuplah dengan bertayammum saja. Maka dia sudah boleh shalat. Tidak wajib mandi junub meski malamnya keluar mani.
Sebagai Muslim yang baik, komitmen dan konsisten dalam memeluk agama Islam, tentu kita tahu bahwa kita wajib menerima Islam secara kaaffah, tidak sepotong-sepotong. Tapi bagaimanakah kita bisa menjalankan Islam secara kaaffah, kalau kita tidak bisa membedakan manakah diantara perbuatan itu yang termasuk bagian dari Islam atau bukan?
Sebab seringkali kita dihadapkan kepada bentuk-bentuk pengamalan yang disinyalir sebagai islami, tetapi kita tidak tahu kedudukan yang sesungguhnya.
Apakah semua hal yang dilakukan oleh beliau itu menjadi bagian langsung dari syariat agama ini? Ataukah ada wilayah yang tidak termasuk bagian dari syariat? Lebih rinci lagi, kita dapati dalam hadits bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam naik unta, minum susu kambing mentah, istinja` dengan batu, khutbah memegang tongkat, di rumahnya tidak ada WC dan seterusnya.
Apakah hari ini kita wajib melakukan hal yang sama dengan beliau sebagai pengejawantahan bahwa Rasululah SAW adalah suri teladan?
Apakah kita hari ini juga harus naik unta, sebagai pengganti mobil dan pesawat, hanya karena ingin mengikuti jejak RasulullahSAW yang berangkat haji naik unta?
Haruskah kita minum susu kambing yang tidak dimasak dahulu, karena beliau SAW suka sekali minum susu kambing tanpa dimasak?
Apakah para khatib Jumat wajib berkhutbah sambil memegang tongkat, karena dahulu beliau SAW berkhutbah sambil memegang tongkat?
Dan tegakah kita berintinja’ tanpa air tetapi diganti dengan batu, karena Rasulullah SAW berintinja’ dengan batu?
Dan haruskah kita buang air di alam terbuka, karena dahulu Rasulullah SAW melakukannya di alam terbuka dan tidak ada kamar mandi?
Tentu kita perlu merinci lebih detail, manakah dari semua perbuatan dan perkataan beliau SAW yang menjadi bagian dari syariah dan mana yang secara kebetulan menjadi hal-hal teknis yang tidak perlu dimasukkan ke dalam ajaran agama ini. Dan untuk itu, harus ada sebuah metodologi yang bisa dijadikan patokan.
Metodologi itu adalah syariat Islam.Tugas ilmu fiqih adalah bagaimana caranya agar kita bisa memilah dan menentukan manakah dari diri Rasulullah SAW yang menjadi bagian dari ajaran Islam, dan manakah yang bukan termasuk ajaran selain hanya faktor kebetulan dan teknis semata, sehingga tidak harus dijadikan tuntunan. Semua itu membutuhkan ilmu yang didasarkan kepada sesautu aturan yang baku, bukan sekedar pemikiran sesaat, yang boleh jadi nanti berubah-ubah.
Dan ilmu itu tidak lain adalah ilmu fiqih, yang telah eksis di dunia Islam sepanjang 14 abad lamanya, menjadi penerang bagi umat Islam dalam berpegang kepada Al Quran dan As Sunnah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar