Urgensi
Pembahasan Fiqih di MA
Mata
Pelajaran Fiqih dalam kurikulum Madrasah Aliyah adalah bagian dari
mata pelajaran Pendidikan Agama Islam yang diarahkan untuk menyiapkan
peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati dan
mengamalkan hukum Islam, yang kemudian menjadi dasar pandangan
hidupnya melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, penggunaan
pengalaman, pembiasaan dan keteladanan.
Mata
pelajaran Fiqih Madrasah Aliyah ini meliputi: Fiqih Ibadah, Fiqih
Muamalah, Fiqih Munakahat, Fiqih Jinayah, Fiqih Siyasah, dan Ushul
Fiqih. Hal ini menggambarkan bahwa ruang lingkup Fiqih mencakup
perwujudan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan hubungan manusia
dengan Allah Swt., dengan diri sendiri, sesama manusia, makhluk
lainnya, maupun lingkungannya (hablun minallah wa hablun minannas).
Pembelajaran
Fiqih di Madrasah Aliyah bertujuan untuk membekali peserta didik agar
dapat: (1) mengetahui dan memahami pokok-pokok hukum Islam
secara terperinci dan menyeluruh, baik berupa dalil naqli dan aqli.
Pengetahuan dan pemahaman tersebut diharapkan menjadi pedoman hidup
dalam kehidupan pribadi dan sosial, (2) melaksanakan dan mengamalkan
ketentuan hukum Islam dengan benar. Pengamalan tersebut diharapkan
dapat menumbuhkan ketaatan menjalankan hukum Islam, disiplin dan
tanggung jawab sosial yang tinggi dalam kehidupan pribadi maupun
sosialnya. Dari pemaparan diatas menunjukkan bahwa pembahasan fiqih
di Ma menjadi urgen.
Seorang
siswa yang muslim dengan seorang siswa non muslim tidak dibedakan
berdasarkan KTP-nya. Juga tidak dibedakan berdasarkan ras, darah,
golongan, bahasa, kebangsaan atau keturunan tertentu. Tetapi yang
membedakan antara keduanya adalah berdasarkan apa yang diketahuinya
tentang ajaran Islam serta diyakini kebenarannya. Tidak mungkin
seorang siswa bisa dikatakan Muslim manakala dia tidak mengenal Allah
SWT. Dan tidak lah seseorang mengenal Allah SWT, manakala dia tidak
mengenal ajarn-Nya serta syariat yang telah diturunkn-Nya. Sehingga
mengetahui ilmu-ilmu fiqih merupakan bagian tak terpisahkan dari
status keislaman seseorang siswa. Maka sudah seharusnya seorang siswa
menguasai ilmu syariah, karena syariat itu merupakan penjabaran serta
uraian dari perintah Allah SWT kepada hamba-Nya. Tanpa adanya ilmu
tentang semua hal itu, status sebagai Muslim nyaris hanya tinggal
formalitas belaka. Keislamannya boleh jadi hanya karena kebetulan
orang tuanya muslim, lahir di tengah keluarga uslim, sehingga
setidak-tidaknya KTP-nya ada tulisannya sebagai Muslim.
Selanjutnya,
sumber utama ajaran Islam adalah Al Quran dan As Sunnah. Namun
bagaimana mengambil kesimpulan hukum atas suatu masalah dengan
menggunakan dalil-dalil yang sedemikian banyak, harus ada sebuah
metodologi yang ilmiyah yang baku dan disepakati oleh umat Islam
sepanjang zaman. Dan metodologi itu adalah ilmu fiqih. Ilmu fiqih
telah berhasil menjelaskan dengan pasti dan tepat tentang hukum-hukum
yang terkandung pada tiap potong ayat dan hadits yang bertebaran.
Dengan menguasai ilmu fiqih, maka Al Quran dan As Sunnah bisa
dipahami dengan benar, tepat dan akurat, sebagaimana Rasulullah SAW
dahulu mengajarkannya. Sebaliknya, tanpa penguasaan ilmu fiqih, Al
Quran dan As Sunnah bisa diselewengkan dan dimanfaatkan dengan cara
yang tidak benar. Ilmu fiqih adalah kunci untuk memahami Al Quran dan
As Sunnah dengan metode yang benar, ilmiyah dan shahih.
Misalnya
dalam Al Quran disebutkan bahwa pencuri harus dipotong tangannya,
pezina harus dirajam, pembunuh harus diqishash dan seterusnya. Memang
demikian dzhahir nash ayat Al Quran. Namun benarkah semua pencuri
harus dipotong tangannya? Apakah semua orang yang berzina harus
dirajam? Apakah semua orang yang membunuh harus dibunuh juga?. Di
dalam ilmu fiqih akan dijelaskan kriteria pencuri yang bagaimanakah
yang harus dipotong tangannya. Tidak semua orang yang mencuri harus
dipotong tangan. Ada sekian banyak persyaratan yang harus terpenuhi
agar seorang pencuri bisa dipotong tangan. Misalnya barang yang
dicuri harus berada dalam penjagaan, nilainya sudah memenuhi batas
minimal, bukan milik umum dan lainnya. Bahkan kriteria seorang
pencuri tidak sama dengan pencopet, jambret, penipu atau koruptor.
Demikian
juga dengan pezina, tidak semua yang berzina harus dihukum rajam.
Selain hanya yang sudah pernah menikah, harus ada empat orang saksi
lakil-laki, akil, baligh, dan menyaksikan secara bersama di waktu dan
tempat yang sama melihat peristiwa masuknya kemaluan laki-laki ke
dalam kemaluan perempuan. Tanpa hal itu, hukum rajam tidak boleh
dilakukan. Kecuali bila pezina itu sendiri yang menyatakan ikrar dan
pengakuan atas zina yang dilakukannya. Dan yang paling penting, hukum
rajam haram dilakukan kecuali oleh sebuah institusi hukum formal yang
diakui dalam sebuah negara yang berdaulat.
Dibandingkan
dengan masalah aqidah, akhlaq atau pun bidang lainnya,
masalah-masalah dalam ilmu fiqih menempati porsi terbesar dalam
khazanah ilmu-ilmu keislaman. Bahkan yang disebut dengan ulama itu
lebih identik sebagai orang yang ahli di bidang ilmu fiqih ketimbang
ahli di bidang lainnya. Sehingga sebagai ilmu yang merupakan porsi
terbesar dalam ajaran Islam, ilmu syariah ini menjadi penting untuk
dikuasai. Karena hal ini menyangkut dalam kaitannya masalah
beribadah.
Para
ulama syariah terbiasa berbeda pendapat, karena berbeda hasil ijtihad
sudah menjadi keniscayaan. Namun mereka sangat menghormati perbedaan
diantara mereka. Sehingga tidak saling mencaci, menjelekkan atau
menafikkan. Sebaliknya, semakin awam seseorang terhadap ilmu syariah,
biasanya akan semakin tidak punya mental untuk berbeda pendapat.
Sedikit perbedaan di kalangan mereka sudah memungkinkan untuk
terjadinya perpecahan, pertikaian, bahkan saling menjelekkan satu
sama lain. Hal itu terjadi karena seseorang hanya berpegangan kepada
dalil yang sedikit dan parsial. Tetapi merasa sudah pandai dan paling
benar sendiri. Padahal dalil yang diyakininya paling benar itu masih
harus berhadapan dengan banyak dalil lainnya yang tidak kalah
kuatnya. Jadi bagaimana mungkin dia merasa paling benar sendiri?
Paling
tidak, dengan mempelajari ilmu syariah, kita jadi tahu bahwa pendapat
yang kita pegang ini bukanlah satu-satunya pendapat. Di luar sana,
masih ada pendapat lainnya yang tidak kalah kuatnya dan sama-sama
bersumber dari kitab dan sunnah juga. Maka kita jadi memahami
perbandingan mazhab di kalangan para fuqaha, sebab mereka memang
punya kapasitas untuk melakukan istimbath hukum dengan masing-masing
manhaj dan metodologinya.
Agama
Islam telah dijamin tidak akan hilang dari muka bumi sampai kiamat,
namun tidak ada jaminan bila umatnya mengalami kemunduran dan
kejatuhan. Sejarah membuktikan bahwa mundurnya umat Islam terjadi
manakala para ulama telah wafat dan tidak ada lagi ahli syariah di
tengah umat. Sebaliknya, bila Allah SWT menghendaki kebaikan pada
umat Islam, niscaya akan dimulai dari lahirnya para ulama dan kembali
manusia kepada syariat-Nya.
Racun
pemikiran Orientalis dan Sekuleris tidak akan mempan bila tubuh umat
diimunisasi dengan pemahaman syariah yang mendasar dan matang.
Sebaliknya, bila tingkat pemahaman umat terhadap syariah asal-asalan
dan lemah, maka dengan mudah pemikiran orientalis akan merasuk dan
menjangkiti. Sebaliknya, bila umat ini punya tingkat pemahaman yang
mendalam terdapat ilmu syariah, semua tipu daya itu akan menjadi
mentah.
Pemahaman
syariat Islam akan menjadi filter atas kerusakan umat. Sebaliknya,
semakin awam dari syariat, umat ini akan semakin menjadi
bulan-bulanan pemikiran yang merusak. Sikap-sikap ekstrim dan
keterlaluan dalam pelaksanaan agama seringkali menimpa banyak umat
Islam. Barangkali niatnya sudah baik, yaitu ingin menjalankan ajaran
agama. Tetapi bila semangat itu tidak diiringi dengan ilmu syariah
yang benar, sangat besar kemungkinan terjadi kesalahan fatal yang
merugikan. Dahulu di masa shahabat ada seorang yang terluka di
kepala. Seharusnya dia tidak boleh mandi karena parah sakitnya. Namun
dia berjunub pada malamnya dan pagi hari dia bertanya kepada
temannya, apakah dia harus mandi atau tidak. Temannya mengatakan
bahwa dia harus mandi. Lalu mandilah dia dan tidak lama kemudian
meninggal. Betapa sedih Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
tatkala mendengar kabar itu. Sebab teman yang memberi fatwa itu
bertindak tanpa ilmu dan menyebabkan kematian. Padahal seharusnya
dalam kondisi demikian, cukuplah dengan bertayammum saja. Maka dia
sudah boleh shalat. Tidak wajib mandi junub meski malamnya keluar
mani.
Sebagai
Muslim yang baik, komitmen dan konsisten dalam memeluk agama Islam,
tentu kita tahu bahwa kita wajib menerima Islam secara kaaffah, tidak
sepotong-sepotong. Tapi bagaimanakah kita bisa menjalankan Islam
secara kaaffah, kalau kita tidak bisa membedakan manakah diantara
perbuatan itu yang termasuk bagian dari Islam atau bukan?
Sebab
seringkali kita dihadapkan kepada bentuk-bentuk pengamalan yang
disinyalir sebagai islami, tetapi kita tidak tahu kedudukan yang
sesungguhnya.
Apakah
semua hal yang dilakukan oleh beliau itu menjadi bagian langsung dari
syariat agama ini? Ataukah ada wilayah yang tidak termasuk bagian
dari syariat? Lebih rinci lagi, kita dapati dalam hadits bahwa
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam naik unta, minum susu
kambing mentah, istinja` dengan batu, khutbah memegang tongkat, di
rumahnya tidak ada WC dan seterusnya.
Apakah
hari ini kita wajib melakukan hal yang sama dengan beliau sebagai
pengejawantahan bahwa Rasululah SAW adalah suri teladan?
Apakah
kita hari ini juga harus naik unta, sebagai pengganti mobil dan
pesawat, hanya karena ingin mengikuti jejak RasulullahSAW yang
berangkat haji naik unta?
Haruskah
kita minum susu kambing yang tidak dimasak dahulu, karena beliau SAW
suka sekali minum susu kambing tanpa dimasak?
Apakah
para khatib Jumat wajib berkhutbah sambil memegang tongkat, karena
dahulu beliau SAW berkhutbah sambil memegang tongkat?
Dan
tegakah kita berintinja’ tanpa air tetapi diganti dengan batu,
karena Rasulullah SAW berintinja’ dengan batu?
Dan
haruskah kita buang air di alam terbuka, karena dahulu Rasulullah SAW
melakukannya di alam terbuka dan tidak ada kamar mandi?
Tentu
kita perlu merinci lebih detail, manakah dari semua perbuatan dan
perkataan beliau SAW yang menjadi bagian dari syariah dan mana yang
secara kebetulan menjadi hal-hal teknis yang tidak perlu dimasukkan
ke dalam ajaran agama ini. Dan untuk itu, harus ada sebuah metodologi
yang bisa dijadikan patokan.
Metodologi
itu adalah syariat Islam.Tugas ilmu fiqih adalah bagaimana caranya
agar kita bisa memilah dan menentukan manakah dari diri Rasulullah
SAW yang menjadi bagian dari ajaran Islam, dan manakah yang bukan
termasuk ajaran selain hanya faktor kebetulan dan teknis semata,
sehingga tidak harus dijadikan tuntunan. Semua itu membutuhkan ilmu
yang didasarkan kepada sesautu aturan yang baku, bukan sekedar
pemikiran sesaat, yang boleh jadi nanti berubah-ubah.
Dan
ilmu itu tidak lain adalah ilmu fiqih, yang telah eksis di dunia
Islam sepanjang 14 abad lamanya, menjadi penerang bagi umat Islam
dalam berpegang kepada Al Quran dan As Sunnah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar