Senin, 03 Maret 2014

jabariyah dan qadariyah


BAB II
PEMBAHASAN
ALIRAN JABARIYAH DAN QADARIYAH

I. ALIRAN JABARIYAH
A. Asal-Usul Aliran Jabariyah
Jabariyah berasal dari kata jabara yang artinya memaksa.menurut Asy-Syahrasan, jabariyah berarti penolakan atas perbuatan yang hakikatnya berasal dari manusia dan menyadarkannya kepada Tuhan. paham ini memposisikan manusia tidak memiliki kebebasan dan inisiatif sendiri, tetapi terikat pada kehendak mutlak Tuhan (predestination). Dalam paham ini manusia memang melakukan perbuatan namun perbuatannya itu dalam keadaan terpaksa.1)
Secara bahasa jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung pengertian memaksa. Didalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Sedangkan secara istilah, Jabariyah adalah menolak perbuatan dari manusia dan menyandarkannya semua perbuatan kepada AllahSWT.Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur)2) Kalau dikatakan, Allah SWT mempunyai sifat Al-Jabbar (dalam bentuk mubalaghah), itu artinya Allah itu maha memaksa. Ungkapan al-insan majbur (bentuk isim maf’ul) mempunyai arti bahwa manusia dipaksa atau terpaksa. Selanjutnya, kata jabara (bentuk pertama), setelah ditarik menjadi jabariyah (dengan menambah ya nisbah), memiliki arti suatu kelompok atau aliran (isme).
Dalam bahasa Inggris, Jabariyah disebut Fatalism atau predestination, yaitu faham yang menyebutkan bahwa manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan.3)
Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan oleh Qadha dan Qadar Allah SWT. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia,namun diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya. Disini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahkan bahwa Jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya. 4)
B. Sejarah Munculnya Aliran Jabariyah
Abu Zahrah menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman shahabat dan masa bani Umayyah. Ketika itu para Ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan.
Pendapat lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang yang diliputi oleh guru pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. keadaan mereka yang bersahaja dengan lingkungan alam yang gersang dan tandus, menyebabkan mereka tidak dapat melakukan perubahan-perubahan sesuai dengan kemauan mereka. akibatnya mereka lebih bergantung pada kehendak alam. Keadaan ini membawa mereka pada sikap pasrah dan fatalistik. 5)
Jabariyah sebagai suatu pola pikir yang dianut, dipelajari dan dikembangkan yang terjadi pada akhir pemerintah Bani Umayyah. Pada masa pemerintahan bani Umayyah, pandangan tentang jabar semakin mencuat ke permukaan. Abdullah Ibnu Abbas dengan suratnya, memberi reaksi keras kepada penduduk Syiria yang diduga berpaham Jabariyah jabariyah. hal yang sama dilakukan oleh Hasan Basri kepada penduduk Basrah.semua ini menunjukkan bahwa pada waktu itu sudah mulai banyak orang berpaham Jabariyah. Paham ini disyiarkan pertama kali oleh Ja’ad Ibn Dirham. Akan tetapi yang menyebarkannya adalah Jahm Ibn Shafwan dari Khurasan. Paham Jabariyah berasal dari pemikiran asing Yahudi maupun Persia.6) Dalam sejarah teologi islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran Jahmiyah dalam kalangan Murji’ah. Ia adalah sekretaris Suraih bin Al-haris dan selalu menemaninya dalam gerakan melawan kekuasaan Bani umayah. Namun dalam perkembangannya, paham al-jabar juga dikembangkan oleh tokoh lainnya diantaranya Al-Husain bin Muhammad An-Najjar dan ja’ad bib Dirrar.7)
Berkaitan dengan kemunculan aliran jabariyah, ada yang mengatakan bahwa kemunculannya diakibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi yang bermadzhab Qurra dan agama Kristen bermadzhab Yacobit. Namun tanpa pengaruh asing itu, paham al-jabar akan muncul juga dikalangan umat Islam.8)
C. Tokoh-Tokoh Jabariyah
Menurut Asy-Syahratsani, ja Jabariyah bariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, ekstrim dan moderat. Diantara doktrin Jabariyah jabariyah ektrim adalah pendapatnya bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Misalnya, kalau seseorang mencuri, perbuatan mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendak sendiri, tetapi timbul karena Qadha dan Qadar Tuhan yang menghendaki demikian.9) diantara pemuka Jabariyah ekstrim adalah berikut ini:
a. Au Mahrus Jahm Ibnu Shafwan
b. Ja’ad Ibnu Dirham
Berbeda dengan Jabariyah ekstrim, Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan tidak jahat, tetapi manusia mempunyai bagian didalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan Kasab (acquisitin). Menurut paham Kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan.10) Yang termasuk tokoh jabariyah moderat adalah sebagai berikut:
  1. Al-Husain ibnu Muhammad An-Najjar (wafat pada tahun 230 H).
  2. Dhirar Ibnu Amr.
D. Pemikiran Jabariyah
Jabariyah berpendapat bahwa Allah SWT sajalah yang menentukan dan memutuskan segala amal perbuatan manusia. Semua perbuatan itu sejak semula telah diketahui oleh Allah. Dan semua amal perbuatan itu adalah berlaku dengan qudrat dan iradat-Nya. Manusia tidak mencampurinya sama sekali. qodrat dan iradat Allah adalah membekukan dan mencabut kekuasaan manusia. Pada hakikatnya segala pekerjaaan dan gerak-gerik manusia sehari-harinya adalah merupakan paksaan (majbur) semata-mata. Kebaikan dan kejahatan itu pun semata-mata paksaan pula, sekalipun manusia memperoleh balasan surga atau neraka.11)
Pembalasan surga atau neraka bukan sebagai ganjaran atas kebaikan yang diperbuat manusia sewaktu hidupnya, dan balasan kejahatan yang dilarangnya, tetapi surga dan neraka itu semata-mata sebagai bukti kebesaran Allah SWT dalam qudrat dan iradat-Nya.
Akan tetapi paham Jabariyah ini melampaui batas, sehingga mengi’tikadkan bahwa tidak berdosa berbuat kejahatan, karena yang berbuat itu pada hakikatnya Allah SWT pula. Sesaatnya lagi mereka berpendapat bahwa orang itu mencuri, maka Tuhan pula yang mencuri, bila orang shalat, maka Tuhan pula yang shalat. Jadi kalau orang yang berbuat buruk atau jahat lalu dimasukkan ke dalam neraka, maka Tuhan itu tidak adil. Karena apapun yang diperbuat manusia, kebaikan atau keburukan, tidak terlepas dari qudrat dan iradat-Nya. Alasan pendapat dari jabariyah adalah berpedoman kepada ayat-ayat Al-Qur’an.12) Yaitu diantaranya terdapat dalam surat Ash-Shaffat: 96 :
Artinya: ”Padahal Allah SWT yang menciptakan kamu dan apa yang kamu kerjakan”.
(Q.S. Ash-Shaffat:96).
Perkataan mereka yang terkenal, sebagai berikut :
Qudrat dan iradat itu adalah sebagai alat yang dibekukan dan yang sudah dicabut kekuasaannya. Adapun hakekatnya, segala pekerjaan dan usaha apa saja yang kita lakukan ini, juga semua gerak-gerik yang lahir kita lihat sehari-hari ini, merupakan paksaan dari Allah SWT semata-mata. Sedangkan manusia itu tidak campur tangan sedikitpun. Adalah semata-mata paksaan Tuhan belaka, yang kemudian Allah SWT membalasnya kelak dengan kenikmatan atau siksaaan.13)
Jadi sebenarnya keadaan itu bukanlah sebagai balasan atas kebaikan atau kejahatan yang dilakukannya, sebab manusia itu tidak berhak menerima balasan dan ganjaran dari apa yang dikerjakannya. Melainkan, adanya kenikmatan dan siksaan itu hanyalah untuk membuktikan saja akan kebesaran Allah SWT dalam qudrat ndan iradat-Nya. Begitulah pendapat ahli Jabariyah.
Sering juga kita dengar orang mengatakan bahwa kedua golongan Mu’tazilah dan Jabariyah telah keluar dari agama Islam. Tetapi kita dapat menghukumkan demikian, sebab kecuali kedua golongan itu mempunyai alasan-alasan yang kuat dalam mempertahankan pendapatnya, merekapun dengan pendapat itu tidak bermaksud untuk melemahkan sifat-sifat Allah SWT, bahkan ingin menyucikannya.
Mereka berpendapat demikian, karena cita-citanya untuk mencapai kemuliaan dan kesucian Allah SWT dengan sesempurna-sempurnanya. Dengan pendapat itu ia maksudkan, agar tidak terbayang adanya tindakan-tindakan Tuhan yang sia-sia, atau tidak ada anggapan bahwa Allah SWT itu dzalim dalam menentukan hukumannya. Demikian pula supaya tindakan dan apa yang diperbuat oleh Tuhan itu tidak ada yang turut campur tangan dalam kekuasaan dan kehendakNya. 14)
Tiap-tiap prinsip sudah tentu membawa akibat perumusan terhadap cabang-cabang atau bagian-bagian yang lain. Demikikian pula terhadap pendapat Jabariyah ini, membutuhkan pemecahan masalah-masalah lain yang bersangkutan dengan qadar, yaitu masalah-masalah kepercayaan-kepercayaan lainnya yang sesuai dengan alam pikiran mereka. Dasar fikiran ahli Jabariyah :
  • Apa yang diperbuat manusia itu adalah atas qudrat dan iradat Allah SWT semata, tanpa campur tangan manusia sedikitpun. Tetapi dengan faham ini tidak berarti bahwa jabariyah menganggap semua kewajiban-kewajiban yang diperintahkan Allah SWT itu saja sia-sia saja, dan juga mereka tidak menganggap bahwa balasan-balasan Tuhan atas kejahatan manusia itu sebagai kedzaliman.
  • Ahli Jabariyah tidak mendustakan utusan-utusan Allah SWT dan juga tidak membebaskan diri dari semua larangan-larangan Allah SWT.15)
E. Perbuatan manusia dalam kaitannya dengan perbuatan Tuhan
Menurut aliran Jabariyah, bahwa manusia tidak berkuasa atas perbuatannya. Hanya Allah SWT sajalah yang menentukan dan memutuskan segala amal perbuatan manusia. Semua amal perbuatan itu adalah atas qudrat dan iradat-Nya. Manusia tidak mencampurinya sama sekali. Dalam paham Jabariyah, perbuatan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan sering digambarkan bagai bulu ayam diikat dengan tali dan digantungkan diudara. Kemana angin bertiup kesanalah bulu ayam itu terbang. Ia tidak mampu menentukan dirinya sendiri, tetapi terserah angin. Apabila perbuatan manusia diumpamakan sebagai bulu ayam, maka angin itu adalah Tuhan yang menentukan ke arah mana dan bagaimana perbuatan manusia perbuatan manusia itu dilakukan.
Kadang-kadang manusia diumpamakan pula seperti wayang yang tak berdaya. Bagaimana dan kemana ia bergerak terserah dalang yang memainkan wayang itu. Dalang bagi manusia adalah Tuhan. Paham Jabariyah sebagaimana dikemukakan diatas adalah paham yang dilontarkan oleh Jahm bin Shafwan, tokoh utama Jabariyah. Aliran ini pun kadang-kadang disebut dengan aliran Jahmiyah. Pendapat Jahm bin Shafwan tentang perbuatan manusia tersebut dianggap sebagai paham Jabariyah yang ekstrim sebab ada paham lain yang agak moderat yang dikembangkan oleh Husain bin Najjar Dhirar bin Amr, dan Hafas Al-Fardi.
Menurut paham Jabariyah yang moderat ini, perbuatan manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh Tuhan, tetapi manusia tidak memiliki dalam mewujudkan perbuatannya. Seolah-olah ada kerja sama antara Tuhan dan manusia dalam mewujudkan perbuatan manusia itu, sehingga manusia tidak dipaksa dalam melakukan perbuatan nya. Dengan demikian, manusia mempunyai bagian yang efektif suatu perbuatan. 16)
II. ALIRAN QADARIYAH
  1. Asal-usul kemunculan aliran Qadariyah
Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian secara terminologi, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi (campur tangan) oleh Tuhan.aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa Qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Dalam hal ini, Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya,dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada Qadar Tuhan. Seharusnya sebutan Qadariyah diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa qadar menentukan segala tingkahlaku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat. Namun, sebutan tersebut telah melekat kaum Sunni, yang percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak.17) dalam paham ini, manusia dipandang mempunyai kemampuan untuk melaksanakan kehendak dan kemauannya sendiri. Mereka menolak adanya Qadha dan Qadar.18)
  1. Sejarah munculnya aliran Qadariyah
Pada akhir abad pertama hijrah, diantara golongan Islam timbul suatu madzhab yang disebut Qadariyah, yaitu aliran yang dipelopori oleh seorang yang bernama Ma’bah Al-Jauhani Al-Bishri, ditanah Iraq. Ia adalah seorang yang alim tentang Al-Qur’an dan Al-Hadits, tetapi ia menjadi sesat dan membuat pendapat-pendapat yang salah serta batal. Sungguhpun demikian adapula orang yang menjadi pengikutnya. Akan tetapi setelah diketahui oleh pemerintah diwaktu itu, lalu ia dibunuh oleh Abdul Malik bin Marwan dan disulakan di Damsyik pada tahun 80 Hijrah.19)
Madzhab Qadariyah muncul sekitar tahun 70H atau 689 M. Ma’bad semasa hidupnya pernah berguru dengan Hasan Bashri bersama dengan Wasil ibn Atha, jadi beliau termasuk tabi’in atau generasi kedua sesudah nabi, sedangkan Ghailan semula tinggal di Damaskus, ayahnya menjadi maula Ustman bin Affan. Ghailan seorang ahli pidato sehingga banyak orang yang tertarik dengan pendapatnya. Kedua tokoh itu mati dibunuh, Ghailan dibunuh pada masa Hisyam ibn Malik dan Ma’bad dibunuh karena dituduh terlibat dalam pemberontakan bersama dengan Abdurrahman Al-Asy’ats.20)
Aliran Qadariyah tidak jelas asal mulanya dari mana, tapi menurut Muhammad Ibnu Syu’aib yang memperoleh informasi dari Al-Auza’i, beliau mengatakan bahwa orang yang pertama kali memperkenalkan aliran Qadariyah adalah seorang nasrani dari Iraq yang masuk Islam tapi beliau balik lagi ke Nasrani, dari orang inilah Ma’bad ibnu Khalif Al-Juhani Al-Bashri dan Ghailan Al-Dimasyqi memperoleh paham Qadariyah. Ma’bad adalah seorang taba’I yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada Hasan Al-Bashri. Adapun Ghailan adalah seorang orator yang berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi maula Usman bin Affan. Berarti sudah jelas bahwa lahirnya aliran atau paham Qadariyah dalam Islam masih dipengaruhi oleh paham yang bebas berkembang dikalangan pemeluk agama Nashrani.
Ibnu Nabatah dalam kitabnya, Syarh Al-‘uyun, seperti dikutip Ahmad Amin, memberi informasi lain bahwa yang pertama sekali memunculkan faham Qadariyah adalah orang Iraq yang semula beragama Kristen kemudian masuk Islam dan balik lagi ke agama Kristen.dari orang inilah Ma’bad dan Ghailan mengambil faham ini. Orang Iraq yang dimaksud Sebagaimana dikatakan Muhammad Ibnu Syabib yang memperoleh informasi dari Al-Aza’I, adalah Susan.21)
Sementara itu, W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain melalui tulisan Hellmut Ritter dalam bahasa Jerman yang dipublikasikan melalui majalah Der Islam pada tahun 1993. Artikel ini menjelaskan bahwa faham Qadariyah terdapat dalam kitab Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan Al-Bashri sekitar tahun 700 M. Hasan Al-Bashri (642-728) adalah anak seorang tahanan di Iraq.ia lahir di Madinah, tetapi pada tahun pada tahun 657 M, pergi ke Bashrah dan tinggal disana sampai akhir hayatnya.
Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Damasyqi, menurut Watt, adalah penganut Qadariyah yang hidup setelah Hasan Al-Bashri. Kalau dihubungkan dengan keterangan Adz-Dzahabi dalam Mizan Al-I’tidal, seperti dikutip Ahmad Amin yang menyatakan bahwa Ma’bad Al-Jauhani pernah belajar pada Hasan Al-Bashri, maka sangat mungkin faham Qadariyah ini mula-mula dikembangkan Hasan Bashri. Dengan demikian, keterangan yang ditulis Ibn Nabatah Syarhul Al-‘uyun bahwa faham Qadariyah berasal dari orang Iraq kristen yang masuk Islam dan kemudian kembali kepada Kristen, adalah hasil rekayasa orang yang tidak sependapat dengan faham ini agar orang-orang tidak tertarik dengan dengan pikiran Qadariyah. Lagi pula menurut Kremer, seperti dikutip Ignaz Goldziher, dikalangan Gereja Timur ketika itu terjadi perdebatan tentang butir doktrin Qadariyah yang mencekam pikiran para teolognya.22)
Faham Qadariyah mendapat tantangan keras dari umat Islam ketika itu. Ada beberapa hal yang mengakibatkan terjadinya reaksi keras ini, yaitu diantaranya :
  • Pertama, seperti pendapat Harun Nasution, karena masyarakat Arab sebelum Islam kelihatannya dipengaruhi oleh faham fatalis. Kehidupan bangsa Arab ketika itu serba sederhana dan jauh dari pengetahuan. Mereka selalu terpaksa mengalah pada keganasan alam, panas yang menyengat serta tanah gunungnya yang gundul. Mereka merasa dirinya lemah dan tak mampu menghadapi kesukaran hidup yang ditimbulkan oleh sekelilingnya. Faham itu terus dianut kendatipun mereka sudah beragama Islam. Karena itu, ketika faham Qadariyah dikembangkan, mereka tidak dapat menerimanya. Faham Qadariyah itu dianggap bertentangan dengan doktrin Islam.
  • Kedua, tantangan dari pemerintah ketika itu. Tantangan ini sangat mungkin terjadi karena para pejabat pemerintahan menganut faham Jabariyah. Ada kemungkinan juga pejabat pemerintah menganggap gerakan faham Qadariyah sebagai suatu usaha menyebarkan faham dinamis dan daya kritis rakyat, yang pada gilirannya mampu mengkritik kebijaka-kebijakan mereka dianggap tidak sesuai, bahkan dapat menggulingkan mereka dari tahta kerajaan.23)
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa motif munculnya paham Qadariyah ada dua faktor, yaitu :
  • Pertama, faktor eksternal, yaitu agama Nashrani.dikalangan agama Nashrani pembahasan tentang qadar masih tetap dilakukan walaupun mereka telah masuk Islam.
  • Kedua, faktor internal, yaitu adanya tindakan protes dari kekuasaan Bani Umayyah yang menganut faham Jabariyah yang selalu berdalih kepada takdir Tuhan.24)
  1. Tokoh-tokoh aliran Qadariyah
Para tokoh yang terlibat dalam faham Jabariyah diantaranya :
  • Ma’bad Al- Juhani.
  • Abi Syamr.
  • Muhammad Ibnu Syabib.
  1. Pemikiran aliran Qadariyah
Aliran Qadariyah menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri.Manusia memmpunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Dalam kaitan ini, bila seseorang diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat, semua itu berdasarkan pilihan hidupnya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Sungguh tidak pantas, manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuannya sendiri.
Faham takdir dalam pandangan Qadariyah bukanlah dalam hal pengertian takdir yang umum dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Menurut bangsa Arab,dalam perbuatan-perbuatannya, manusia hanya bertindak menerut nasib yang telah ditentukan semenjak ajal terhadap dirinya. Adapun dalam faham Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah yang di ciptaan-Nya untuk alam semesta beserta seluruh isinya, semenjak ajal, yaitu hukum yang dalam istilah Al-Quran adalah sunatullah. 25
Aliran Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada yang tepat menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat pijakan dalam doktrin islam sendiri. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:
Artinya: “katakanlah, kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau berimanlah ia dan barang siapa yang ingin kafir, biarlah ia kafir.”
(Q.S. Al-Kahfi:29)
Ahmad Amin menjelaskan bahwa doktrin Qadariyah lebih luas dikupas oleh kalangan Mu’tazilah, sebab faham ini juga menjadikan salah satu doktrin Mu’tazilah. Akibatnya, seringkali orang menamakan Qadariyah dengan Mu’tazilah karena kedua ajaran ini sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan Tuhan.
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghailan tentang doktrin Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia hidup mempunyai daya. Selagi hidup manusia mempunyai daya, ia berkuasa atas segala perbuatannya. Dapat dipahami bahwa doktrin Qadariyah pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri.26
Dalam pemikiran Muhammad Abduh, peran akal begitu menonjol, sehingga membawa pula pandangannya kepada faham bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam kemauan dan perbuatan (free will and free act, atau Qadariyah).27

  1. Perbuatan Manusia Dalam Kaitannya Dengan Perbuatan Tuhan
Aliran Qadariyah sering juga diidentikan dengan aliran Mu’tazilah. Aliran Qadariyah memahami bahwa manuia itu bebas memilih atas perbuatannya (kholiqul af’al). Mereka berpendapat bahwa kemauan manusia itu bebas, dan itu berarti bahwa manusia itu bebas untuk berbuat atau tidak berbuat, sehingga manusia bertanggung jawab sepenuhnya terhadap perbuatannya, manusia berhak menerima pujian dan pahala atas perbuatannya yang baik dan menerima celaan dan hukuman atas perbuatannya yang salah atau dosa.
Karena pendapatnya bahwa manusia mempunyai kuasa penuh atas perbuatannya sendiri itulah maka golongan ini disebut Qadariyah oleh lawan-lawannya. Mereka sendiri tidak senang disebut kaum Qadariyah. Mereka menamakan dirinya kaum ahli adil wat tauhid. Adil yang mereka maksud adalah karena mereka tidak setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa Allah SWT menakdirkan orang berbuat dosa. Dan yang dimaksud dengan nama mereka ahli tauhid, ialah karena mereka menganggap Allah SWT itu benar-benar Esa, satu, tanpa ditambah sifat apa-apa.
Menurut paham ini, Allah SWT membekali manusia sejak lahirnya dengan qudrat dan iradat, suatu kemampuan untuk mewujudkan perbuatannya sendiri dengan akal dan ajaran agama sebagai pedoman dalam melakukan perbuatan-perbuatan tersebut. Karena manusia bebas, merdeka, dan memiliki kemampuan mewujudkan perbuatan-perbuatannya, ia harus mempertanggungjawabkan perbuatan itu dihadapan Allah SWT. Jika ia banyak melakukan yang baik, maka ia akan mendapat balasan berupa nikmat dan karunia yang besar.sebaliknya, jika ia mengerjakan perbuatan jahat maka ia akan disiksa.
Dari uraian singkat diatas, terlihat bahwa menurut faham Qadariyah, Tuhan tidak ikut campur tangan dalamperbuatan manusia. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan itu. Jika perbuatan manusia diciptakan seluruhnya, maka Taklif tidak ada artinya. Pahala dan siksa tidak berguna karena perbuatan itu dikerjakan bukan dengan kehendak dan kemauan sendiri. 28)
1 Drs. Mustofa M.Ag, Madzhab-Madzhab Ilmu Kalam, (Cirebon: Nurjati IAIN-Publisher, 2011), hlm. 37.
2 Ibid.
3 Prof.Dr. Abdul Rozak, M.Ag dan Prof.Dr. Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia,2011), hlm. 63.
4 Mustofa, Op.Cit.
5Ibid. 38.
6 Ibid.
7 Rozak dan Anwar, Op. Cit. 64.
8 Ibid. 65.
9 Mustopa, Op. Cit. 39.
10 Ibid. 40.
11 Ibid. 41.
12 Ibid, 41-42.
13 Prof. K.H. M. Taib Thahir Abd. Mu’in, Ilmu Kalam, ( Jakarta : widjaya, 1964 ), 240.
14 Ibid.
15 Ibid, 242.
16 Drs. H. Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 144-145.
17 Rozak dan Anwar, Op. Cit. 70.
18 Mustopa, Op. Cit. 31.
19 Taib Thahir, Op. Cit. 238.
20 Mustopa, Op. Cit. 32.
21 Ibid.
22 Rozak dan Anwar, Op. Cit. 72.
23 Ibid, 72-73.
24) Mustopa, Op. Cit. 33.

25 Rozak dan Anwar, Op. Cit. 161.
26 Mustopa, Op. Cit. 35-36.
27 Drs. Adeng Muchtar Ghazali, M.Ag. Perkembangan Ilmu Kalam dari klasik hingga Modern. (Bandung: Pustaka Setia, 2005), 118.
28 Ahmad, Op. Cit. 145-146.









































































































Tidak ada komentar:

Posting Komentar