BAB
II
PEMBAHASAN
ALIRAN
JABARIYAH DAN QADARIYAH
I.
ALIRAN
JABARIYAH
A.
Asal-Usul Aliran Jabariyah
Jabariyah
berasal dari kata jabara
yang
artinya memaksa.menurut Asy-Syahrasan, jabariyah berarti penolakan
atas perbuatan yang hakikatnya berasal dari manusia dan
menyadarkannya kepada Tuhan.
paham
ini memposisikan manusia tidak memiliki kebebasan dan inisiatif
sendiri, tetapi terikat pada kehendak mutlak Tuhan (predestination).
Dalam paham ini manusia memang melakukan perbuatan namun perbuatannya
itu dalam keadaan terpaksa.1)
Secara
bahasa jabariyah
berasal dari kata jabara
yang
mengandung pengertian memaksa.
Didalam
kamus Munjid dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara
yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu.
Sedangkan secara istilah, Jabariyah
adalah menolak perbuatan dari manusia dan menyandarkannya semua
perbuatan kepada AllahSWT.Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan
perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur)2)
Kalau dikatakan, Allah SWT mempunyai sifat Al-Jabbar
(dalam bentuk mubalaghah), itu artinya Allah itu maha memaksa.
Ungkapan al-insan
majbur
(bentuk isim maf’ul) mempunyai arti bahwa manusia dipaksa atau
terpaksa. Selanjutnya, kata
jabara
(bentuk pertama), setelah ditarik menjadi jabariyah
(dengan menambah
ya nisbah),
memiliki arti suatu kelompok atau aliran (isme).
Dalam
bahasa Inggris, Jabariyah
disebut
Fatalism atau predestination, yaitu
faham yang menyebutkan bahwa manusia telah ditentukan dari semula
oleh qadha dan qadar Tuhan.3)
Menurut
Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala
perbuatan manusia telah ditentukan oleh Qadha dan Qadar Allah SWT.
Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak
berdasarkan kehendak manusia,namun diciptakan oleh Tuhan dan dengan
kehendak-Nya. Disini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat
karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahkan bahwa
Jabariyah
adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya. 4)
B.
Sejarah Munculnya Aliran Jabariyah
Abu
Zahrah menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman shahabat dan
masa bani Umayyah. Ketika itu para Ulama membicarakan tentang masalah
Qadar dan kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak
Tuhan.
Pendapat
lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum
agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang
yang diliputi oleh guru pasir sahara telah memberikan pengaruh besar
dalam cara hidup mereka. keadaan mereka yang bersahaja dengan
lingkungan alam yang gersang dan tandus, menyebabkan mereka tidak
dapat melakukan perubahan-perubahan sesuai dengan kemauan mereka.
akibatnya mereka lebih bergantung pada kehendak alam. Keadaan ini
membawa mereka pada sikap pasrah dan fatalistik. 5)
Jabariyah
sebagai suatu pola pikir yang dianut, dipelajari dan dikembangkan
yang terjadi pada akhir pemerintah Bani Umayyah. Pada masa
pemerintahan bani Umayyah, pandangan tentang jabar semakin mencuat ke
permukaan.
Abdullah
Ibnu
Abbas dengan suratnya, memberi reaksi keras kepada penduduk Syiria
yang diduga berpaham Jabariyah
jabariyah.
hal
yang sama
dilakukan oleh Hasan Basri kepada penduduk Basrah.semua ini
menunjukkan bahwa pada waktu itu sudah mulai banyak orang berpaham
Jabariyah.
Paham ini disyiarkan pertama kali oleh Ja’ad Ibn Dirham. Akan
tetapi yang menyebarkannya adalah Jahm Ibn Shafwan dari Khurasan.
Paham Jabariyah
berasal dari pemikiran asing Yahudi maupun Persia.6)
Dalam sejarah teologi islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang
mendirikan aliran Jahmiyah dalam kalangan Murji’ah. Ia adalah
sekretaris Suraih bin Al-haris dan selalu menemaninya dalam gerakan
melawan kekuasaan Bani umayah. Namun dalam perkembangannya, paham
al-jabar juga dikembangkan oleh tokoh lainnya diantaranya Al-Husain
bin Muhammad An-Najjar dan ja’ad bib Dirrar.7)
Berkaitan
dengan kemunculan
aliran jabariyah, ada yang mengatakan bahwa kemunculannya diakibatkan
oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi yang
bermadzhab Qurra
dan
agama Kristen bermadzhab Yacobit.
Namun
tanpa pengaruh asing itu, paham al-jabar akan muncul juga dikalangan
umat Islam.8)
C.
Tokoh-Tokoh Jabariyah
Menurut
Asy-Syahratsani, ja
Jabariyah
bariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, ekstrim
dan moderat.
Diantara doktrin Jabariyah
jabariyah ektrim adalah pendapatnya bahwa segala perbuatan manusia
bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi
perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Misalnya, kalau seseorang
mencuri, perbuatan mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendak
sendiri, tetapi timbul karena Qadha dan Qadar Tuhan yang menghendaki
demikian.9)
diantara pemuka Jabariyah
ekstrim adalah berikut ini:
a.
Au Mahrus Jahm Ibnu Shafwan
b.
Ja’ad Ibnu Dirham
Berbeda
dengan Jabariyah
ekstrim, Jabariyah
moderat mengatakan bahwa Tuhan memang menciptakan perbuatan manusia,
baik perbuatan jahat maupun perbuatan tidak jahat, tetapi manusia
mempunyai bagian didalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri
manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang
dimaksud dengan Kasab (acquisitin).
Menurut paham Kasab, manusia tidaklah majbur
(dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh
dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia
memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan.10)
Yang termasuk tokoh jabariyah
moderat
adalah sebagai berikut:
- Al-Husain ibnu Muhammad An-Najjar (wafat pada tahun 230 H).
- Dhirar Ibnu Amr.
D.
Pemikiran Jabariyah
Jabariyah
berpendapat bahwa Allah
SWT sajalah
yang menentukan dan memutuskan segala amal perbuatan manusia. Semua
perbuatan itu sejak semula telah diketahui
oleh
Allah. Dan semua amal perbuatan itu adalah berlaku dengan qudrat
dan iradat-Nya. Manusia tidak mencampurinya sama sekali. qodrat dan
iradat Allah adalah membekukan dan mencabut kekuasaan manusia. Pada
hakikatnya segala pekerjaaan dan gerak-gerik manusia sehari-harinya
adalah merupakan paksaan (majbur)
semata-mata. Kebaikan dan kejahatan itu pun semata-mata paksaan pula,
sekalipun manusia memperoleh balasan surga atau neraka.11)
Pembalasan
surga atau neraka bukan sebagai ganjaran atas kebaikan yang diperbuat
manusia sewaktu hidupnya, dan balasan kejahatan yang dilarangnya,
tetapi surga dan neraka itu semata-mata sebagai bukti kebesaran Allah
SWT dalam qudrat dan iradat-Nya.
Akan
tetapi paham Jabariyah
ini melampaui batas, sehingga mengi’tikadkan bahwa tidak berdosa
berbuat kejahatan, karena yang berbuat itu pada hakikatnya Allah SWT
pula. Sesaatnya lagi mereka berpendapat bahwa orang itu mencuri, maka
Tuhan pula yang mencuri, bila orang shalat, maka Tuhan pula yang
shalat. Jadi kalau orang yang berbuat buruk atau jahat lalu
dimasukkan ke dalam neraka, maka Tuhan itu tidak adil. Karena apapun
yang diperbuat manusia, kebaikan atau keburukan, tidak terlepas dari
qudrat dan iradat-Nya. Alasan
pendapat dari jabariyah adalah berpedoman kepada ayat-ayat
Al-Qur’an.12)
Yaitu diantaranya terdapat dalam surat Ash-Shaffat: 96 :
Artinya:
”Padahal Allah SWT yang menciptakan kamu dan apa yang kamu
kerjakan”.
(Q.S.
Ash-Shaffat:96).
Perkataan
mereka yang terkenal, sebagai berikut :
Qudrat
dan iradat itu adalah sebagai alat yang dibekukan dan yang sudah
dicabut kekuasaannya.
Adapun hakekatnya, segala pekerjaan dan usaha apa saja yang kita
lakukan ini,
juga
semua gerak-gerik yang lahir kita lihat sehari-hari ini, merupakan
paksaan dari Allah SWT semata-mata. Sedangkan manusia itu tidak
campur tangan sedikitpun. Adalah semata-mata paksaan Tuhan belaka,
yang kemudian Allah SWT membalasnya kelak dengan kenikmatan atau
siksaaan.13)
Jadi
sebenarnya keadaan itu bukanlah sebagai
balasan atas kebaikan atau kejahatan yang dilakukannya, sebab manusia
itu tidak berhak menerima balasan dan ganjaran dari apa yang
dikerjakannya. Melainkan, adanya kenikmatan dan siksaan itu hanyalah
untuk membuktikan saja akan kebesaran Allah SWT dalam qudrat ndan
iradat-Nya. Begitulah pendapat ahli Jabariyah.
Sering
juga kita dengar orang mengatakan bahwa kedua golongan Mu’tazilah
dan Jabariyah
telah keluar dari agama Islam. Tetapi kita dapat menghukumkan
demikian, sebab kecuali kedua golongan itu mempunyai alasan-alasan
yang kuat dalam mempertahankan pendapatnya, merekapun dengan pendapat
itu tidak bermaksud untuk melemahkan sifat-sifat Allah SWT, bahkan
ingin menyucikannya.
Mereka
berpendapat demikian, karena cita-citanya
untuk mencapai kemuliaan dan kesucian Allah SWT dengan
sesempurna-sempurnanya. Dengan pendapat itu ia maksudkan, agar tidak
terbayang adanya tindakan-tindakan Tuhan yang sia-sia, atau tidak ada
anggapan bahwa Allah SWT itu dzalim dalam menentukan hukumannya.
Demikian pula supaya tindakan dan apa yang diperbuat oleh Tuhan itu
tidak ada yang turut campur tangan dalam kekuasaan dan kehendakNya.
14)
Tiap-tiap
prinsip sudah tentu membawa akibat perumusan terhadap cabang-cabang
atau
bagian-bagian yang lain. Demikikian pula terhadap pendapat Jabariyah
ini, membutuhkan pemecahan masalah-masalah lain yang bersangkutan
dengan qadar, yaitu masalah-masalah kepercayaan-kepercayaan lainnya
yang sesuai dengan alam pikiran mereka. Dasar fikiran ahli Jabariyah
:
- Apa yang diperbuat manusia itu adalah atas qudrat dan iradat Allah SWT semata, tanpa campur tangan manusia sedikitpun. Tetapi dengan faham ini tidak berarti bahwa jabariyah menganggap semua kewajiban-kewajiban yang diperintahkan Allah SWT itu saja sia-sia saja, dan juga mereka tidak menganggap bahwa balasan-balasan Tuhan atas kejahatan manusia itu sebagai kedzaliman.
- Ahli Jabariyah tidak mendustakan utusan-utusan Allah SWT dan juga tidak membebaskan diri dari semua larangan-larangan Allah SWT.15)
E.
Perbuatan manusia dalam kaitannya dengan perbuatan Tuhan
Menurut
aliran Jabariyah,
bahwa manusia tidak berkuasa atas perbuatannya. Hanya Allah SWT
sajalah yang menentukan dan memutuskan segala amal perbuatan manusia.
Semua amal perbuatan itu adalah atas qudrat dan iradat-Nya. Manusia
tidak mencampurinya sama sekali. Dalam paham
Jabariyah,
perbuatan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan sering digambarkan
bagai bulu
ayam diikat
dengan tali dan digantungkan diudara. Kemana angin bertiup kesanalah
bulu ayam itu terbang. Ia tidak mampu menentukan dirinya sendiri,
tetapi terserah angin. Apabila perbuatan manusia diumpamakan sebagai
bulu
ayam,
maka angin itu adalah Tuhan yang menentukan ke arah mana dan
bagaimana perbuatan manusia perbuatan manusia itu dilakukan.
Kadang-kadang
manusia diumpamakan pula seperti wayang
yang tak berdaya. Bagaimana dan kemana ia bergerak terserah dalang
yang memainkan
wayang
itu. Dalang bagi manusia adalah Tuhan. Paham Jabariyah
sebagaimana dikemukakan diatas adalah paham yang dilontarkan oleh
Jahm bin Shafwan, tokoh utama Jabariyah.
Aliran ini pun kadang-kadang disebut dengan aliran Jahmiyah.
Pendapat Jahm bin Shafwan tentang perbuatan manusia tersebut dianggap
sebagai paham Jabariyah
yang ekstrim
sebab
ada paham lain yang agak moderat yang dikembangkan oleh Husain bin
Najjar Dhirar bin Amr, dan Hafas Al-Fardi.
Menurut
paham Jabariyah
yang
moderat
ini, perbuatan manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh Tuhan, tetapi
manusia tidak memiliki dalam mewujudkan perbuatannya. Seolah-olah ada
kerja sama antara Tuhan dan manusia dalam mewujudkan perbuatan
manusia itu, sehingga manusia tidak dipaksa dalam melakukan perbuatan
nya. Dengan demikian, manusia mempunyai bagian yang efektif suatu
perbuatan. 16)
II.
ALIRAN QADARIYAH
- Asal-usul kemunculan aliran Qadariyah
Qadariyah
berasal dari bahasa
Arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan.
Adapun menurut pengertian secara terminologi, Qadariyah adalah suatu
aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi
(campur tangan) oleh Tuhan.aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap
orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat
sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan
pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa Qadariyah dipakai untuk
nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan
manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Dalam
hal
ini, Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari
pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk
melaksanakan kehendaknya,dan bukan berasal dari pengertian bahwa
manusia terpaksa tunduk pada Qadar Tuhan. Seharusnya sebutan
Qadariyah diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa qadar
menentukan segala tingkahlaku manusia, baik yang bagus maupun yang
jahat. Namun, sebutan tersebut telah melekat kaum Sunni, yang percaya
bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak.17)
dalam paham ini, manusia dipandang mempunyai kemampuan untuk
melaksanakan kehendak dan kemauannya sendiri. Mereka
menolak adanya Qadha dan Qadar.18)
- Sejarah munculnya aliran Qadariyah
Pada
akhir abad pertama hijrah, diantara golongan Islam timbul suatu
madzhab yang disebut Qadariyah,
yaitu aliran yang dipelopori oleh seorang yang bernama Ma’bah
Al-Jauhani Al-Bishri, ditanah Iraq. Ia adalah seorang yang alim
tentang Al-Qur’an dan Al-Hadits, tetapi ia menjadi sesat dan
membuat pendapat-pendapat yang salah serta batal. Sungguhpun demikian
adapula orang yang menjadi pengikutnya. Akan tetapi setelah diketahui
oleh pemerintah diwaktu itu, lalu ia dibunuh oleh Abdul Malik bin
Marwan dan disulakan di Damsyik pada tahun 80 Hijrah.19)
Madzhab
Qadariyah muncul sekitar tahun 70H atau 689 M. Ma’bad semasa
hidupnya pernah
berguru dengan Hasan Bashri bersama dengan Wasil ibn Atha, jadi
beliau termasuk tabi’in atau generasi kedua sesudah nabi, sedangkan
Ghailan semula tinggal di Damaskus, ayahnya menjadi maula Ustman bin
Affan. Ghailan seorang ahli pidato sehingga banyak orang yang
tertarik dengan pendapatnya. Kedua tokoh itu mati dibunuh, Ghailan
dibunuh pada masa Hisyam ibn Malik dan Ma’bad dibunuh karena
dituduh terlibat dalam pemberontakan bersama dengan Abdurrahman
Al-Asy’ats.20)
Aliran
Qadariyah
tidak jelas asal mulanya dari mana, tapi menurut Muhammad Ibnu
Syu’aib yang memperoleh informasi dari Al-Auza’i, beliau
mengatakan bahwa orang yang pertama kali memperkenalkan aliran
Qadariyah adalah seorang nasrani dari Iraq yang masuk Islam tapi
beliau balik lagi ke Nasrani, dari orang inilah Ma’bad ibnu Khalif
Al-Juhani Al-Bashri dan Ghailan Al-Dimasyqi memperoleh paham
Qadariyah. Ma’bad
adalah seorang taba’I yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada
Hasan Al-Bashri. Adapun Ghailan adalah seorang orator yang berasal
dari Damaskus dan ayahnya menjadi maula Usman bin Affan. Berarti
sudah jelas bahwa lahirnya aliran atau paham Qadariyah dalam Islam
masih dipengaruhi oleh paham yang bebas berkembang dikalangan pemeluk
agama Nashrani.
Ibnu
Nabatah dalam kitabnya, Syarh Al-‘uyun,
seperti dikutip Ahmad Amin, memberi informasi lain bahwa yang pertama
sekali memunculkan faham Qadariyah adalah orang Iraq yang semula
beragama Kristen kemudian masuk Islam dan balik lagi ke agama
Kristen.dari orang inilah Ma’bad dan Ghailan mengambil faham ini.
Orang Iraq yang dimaksud Sebagaimana dikatakan Muhammad Ibnu Syabib
yang memperoleh informasi dari Al-Aza’I, adalah Susan.21)
Sementara
itu, W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain melalui tulisan
Hellmut Ritter dalam bahasa Jerman yang dipublikasikan melalui
majalah
Der Islam
pada tahun 1993. Artikel ini menjelaskan bahwa faham Qadariyah
terdapat dalam kitab Risalah
dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan Al-Bashri sekitar
tahun 700 M. Hasan Al-Bashri (642-728) adalah anak seorang tahanan di
Iraq.ia lahir di Madinah, tetapi pada tahun pada tahun 657 M, pergi
ke Bashrah dan tinggal disana sampai akhir hayatnya.
Ma’bad
Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Damasyqi, menurut Watt, adalah
penganut Qadariyah yang hidup setelah Hasan Al-Bashri. Kalau
dihubungkan dengan keterangan Adz-Dzahabi dalam
Mizan Al-I’tidal,
seperti dikutip Ahmad Amin yang menyatakan bahwa Ma’bad Al-Jauhani
pernah belajar pada Hasan Al-Bashri, maka sangat mungkin faham
Qadariyah ini mula-mula dikembangkan Hasan Bashri. Dengan demikian,
keterangan yang ditulis Ibn Nabatah Syarhul
Al-‘uyun
bahwa faham Qadariyah berasal dari orang Iraq kristen yang masuk
Islam dan kemudian kembali kepada Kristen, adalah hasil rekayasa
orang yang tidak sependapat dengan faham ini agar orang-orang tidak
tertarik dengan dengan pikiran Qadariyah. Lagi pula menurut Kremer,
seperti dikutip Ignaz Goldziher, dikalangan Gereja Timur ketika itu
terjadi perdebatan tentang butir doktrin Qadariyah yang mencekam
pikiran para teolognya.22)
Faham
Qadariyah mendapat tantangan keras dari umat Islam ketika itu. Ada
beberapa hal yang mengakibatkan terjadinya reaksi keras ini, yaitu
diantaranya :
- Pertama, seperti pendapat Harun Nasution, karena masyarakat Arab sebelum Islam kelihatannya dipengaruhi oleh faham fatalis. Kehidupan bangsa Arab ketika itu serba sederhana dan jauh dari pengetahuan. Mereka selalu terpaksa mengalah pada keganasan alam, panas yang menyengat serta tanah gunungnya yang gundul. Mereka merasa dirinya lemah dan tak mampu menghadapi kesukaran hidup yang ditimbulkan oleh sekelilingnya. Faham itu terus dianut kendatipun mereka sudah beragama Islam. Karena itu, ketika faham Qadariyah dikembangkan, mereka tidak dapat menerimanya. Faham Qadariyah itu dianggap bertentangan dengan doktrin Islam.
- Kedua, tantangan dari pemerintah ketika itu. Tantangan ini sangat mungkin terjadi karena para pejabat pemerintahan menganut faham Jabariyah. Ada kemungkinan juga pejabat pemerintah menganggap gerakan faham Qadariyah sebagai suatu usaha menyebarkan faham dinamis dan daya kritis rakyat, yang pada gilirannya mampu mengkritik kebijaka-kebijakan mereka dianggap tidak sesuai, bahkan dapat menggulingkan mereka dari tahta kerajaan.23)
Secara
ringkas dapat dikatakan bahwa motif munculnya paham Qadariyah ada dua
faktor, yaitu :
- Pertama, faktor eksternal, yaitu agama Nashrani.dikalangan agama Nashrani pembahasan tentang qadar masih tetap dilakukan walaupun mereka telah masuk Islam.
- Kedua, faktor internal, yaitu adanya tindakan protes dari kekuasaan Bani Umayyah yang menganut faham Jabariyah yang selalu berdalih kepada takdir Tuhan.24)
- Tokoh-tokoh aliran Qadariyah
Para
tokoh yang terlibat dalam faham Jabariyah diantaranya :
- Ma’bad Al- Juhani.
- Abi Syamr.
- Muhammad Ibnu Syabib.
- Pemikiran aliran Qadariyah
Aliran
Qadariyah
menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas
kehendaknya sendiri.Manusia memmpunyai kewenangan untuk melakukan
segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik
maupun berbuat jahat. Karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas
kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman
atas kejahatan yang diperbuatnya. Dalam kaitan ini, bila seseorang
diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat, semua itu
berdasarkan pilihan hidupnya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan.
Sungguh tidak pantas, manusia menerima siksaan atau tindakan salah
yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuannya sendiri.
Faham
takdir dalam pandangan Qadariyah
bukanlah dalam hal pengertian takdir yang umum dipakai oleh bangsa
Arab ketika itu, yaitu faham yang mengatakan bahwa nasib manusia
telah ditentukan terlebih dahulu. Menurut bangsa Arab,dalam
perbuatan-perbuatannya, manusia hanya bertindak menerut nasib yang
telah ditentukan semenjak ajal terhadap dirinya. Adapun dalam faham
Qadariyah,
takdir itu adalah ketentuan Allah yang di ciptaan-Nya untuk alam
semesta beserta seluruh isinya, semenjak ajal, yaitu hukum yang dalam
istilah Al-Quran adalah sunatullah.
25
Aliran
Qadariyah
berpendapat bahwa tidak ada yang tepat menyandarkan segala perbuatan
manusia kepada perbuatan Tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat
pijakan dalam doktrin islam sendiri. Sebagaimana firman Allah SWT
dalam Al-Qur’an:
Artinya:
“katakanlah, kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau
berimanlah ia dan barang siapa yang ingin kafir, biarlah ia kafir.”
(Q.S.
Al-Kahfi:29)
Ahmad
Amin menjelaskan bahwa doktrin Qadariyah
lebih luas dikupas oleh kalangan Mu’tazilah, sebab faham ini juga
menjadikan salah satu doktrin Mu’tazilah. Akibatnya, seringkali
orang menamakan Qadariyah
dengan Mu’tazilah karena kedua ajaran ini sama-sama percaya bahwa
manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur
tangan Tuhan.
Harun
Nasution menjelaskan pendapat Ghailan tentang doktrin Qadariyah
bahwa
manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia hidup mempunyai
daya. Selagi hidup manusia mempunyai daya, ia berkuasa atas segala
perbuatannya. Dapat dipahami bahwa doktrin
Qadariyah
pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan
atas kehendaknya sendiri.26
Dalam
pemikiran Muhammad Abduh, peran akal begitu menonjol, sehingga
membawa pula pandangannya kepada faham bahwa manusia mempunyai
kebebasan dalam kemauan dan perbuatan (free
will and free act, atau Qadariyah).27
- Perbuatan Manusia Dalam Kaitannya Dengan Perbuatan Tuhan
Aliran
Qadariyah
sering juga diidentikan dengan aliran Mu’tazilah. Aliran Qadariyah
memahami bahwa manuia itu bebas memilih atas perbuatannya (kholiqul
af’al).
Mereka berpendapat bahwa kemauan manusia itu bebas, dan itu berarti
bahwa manusia itu bebas untuk berbuat atau tidak berbuat, sehingga
manusia bertanggung jawab sepenuhnya terhadap perbuatannya, manusia
berhak menerima pujian dan pahala atas perbuatannya yang baik dan
menerima celaan dan hukuman atas perbuatannya yang salah atau dosa.
Karena
pendapatnya bahwa manusia mempunyai kuasa penuh atas perbuatannya
sendiri itulah maka golongan ini disebut
Qadariyah
oleh lawan-lawannya. Mereka sendiri tidak senang disebut kaum
Qadariyah.
Mereka menamakan dirinya kaum ahli
adil wat tauhid. Adil
yang mereka maksud adalah karena mereka tidak setuju dengan pendapat
yang mengatakan bahwa Allah SWT menakdirkan orang berbuat dosa. Dan
yang dimaksud dengan nama mereka ahli tauhid, ialah karena mereka
menganggap Allah SWT itu benar-benar Esa, satu, tanpa ditambah sifat
apa-apa.
Menurut
paham ini, Allah SWT membekali manusia sejak lahirnya dengan qudrat
dan
iradat,
suatu kemampuan untuk mewujudkan perbuatannya sendiri dengan akal dan
ajaran agama sebagai pedoman dalam melakukan perbuatan-perbuatan
tersebut. Karena manusia bebas, merdeka, dan memiliki kemampuan
mewujudkan perbuatan-perbuatannya, ia harus mempertanggungjawabkan
perbuatan itu dihadapan Allah SWT. Jika ia banyak melakukan yang
baik, maka ia akan mendapat balasan berupa nikmat dan karunia yang
besar.sebaliknya, jika ia mengerjakan perbuatan jahat maka ia akan
disiksa.
Dari
uraian singkat diatas, terlihat bahwa menurut faham Qadariyah,
Tuhan
tidak ikut campur tangan dalamperbuatan manusia. Manusia sendirilah
yang melakukan perbuatan itu. Jika perbuatan manusia diciptakan
seluruhnya, maka
Taklif
tidak ada artinya. Pahala dan siksa tidak berguna karena perbuatan
itu dikerjakan bukan dengan kehendak dan kemauan sendiri.
28)
2
Ibid.
3
Prof.Dr. Abdul Rozak, M.Ag dan Prof.Dr. Rosihon
Anwar, Ilmu Kalam,
(Bandung: Pustaka Setia,2011), hlm. 63.
6
Ibid.
25
Rozak dan Anwar, Op. Cit. 161.
26
Mustopa, Op. Cit. 35-36.
27
Drs. Adeng Muchtar Ghazali, M.Ag. Perkembangan
Ilmu Kalam dari klasik hingga Modern. (Bandung:
Pustaka Setia, 2005), 118.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar