Sabtu, 01 Maret 2014

PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA RASULULLAH DI MAKKAH


PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA RASULULLAH DI MAKKAH


  1. PENDAHULUAN
Agama dapat menjadi petunjuk yang berhasil untuk pencarian ilmu pengetahuan. Dan agama Islam dapat mencapai sukses dalam hal ini. Tidak ada pertentangan antara ilmu genetika dan agama. Kenyataan di dalam al-Quran yang ditunjuk kan oleh ilmu pengetahuan menjadi valid. AI-Quran yang berasal dari Allah mendukung ilmu pengetahuan”.
 
Prof. Dr. Joe Leigh Simpson
Ketua Jurusan Ilmu Kebidanan dan Ginekologi dan
Prof. Molecular dan Genetika Manusia,
Baylor College Medicine, Houston,
Amerika Serikat.
Telah dibuktikan oleh para ilmuan, bahwa islam adalah agama yang banyak membuka ilmu pengetahuan. Dengan dari sumber Al-Qur’an yang maha kaya akan rahasia ilmu yang tersimpan di dalamnya, dan Nabi Muhammad adalah sebagai buku ilmu pengetahuan, tempat penyimpanan dari segala kerahasian ilmu. Prof. Marshal Johnson, guru besar ilmu anatomi dan perkembangan biologi, Universitas Thomas, Jefferson, Philadelphia, Amerika Serikat berpendapat: “Nabi Muhammad SAW adalah sebagai buku ilmu pengetahuan dari Allah”. Hal ini dibuktikan dengan perkembangan sains yang terus berkembang dari zaman ke zaman, terlebih setelah masa pasca dakwah Rasulullah perkembangan ilmu politik, ekonomi, sosial, sains, filsafat, tafsir, bahkan pendidikan, dan masih banyak lagi tidak dapat penyusun tulis di makalah ini.
Pendidikan Islam tumbuh dan berkembang sejalan dengan adanya dakwah Islam yang telah dilakukan Nabi Muhammad SAW. Berkaitan dengan itu pula pendidikan Islam memiliki corak dan karakteristik yang berbeda sejalan dengan upaya pembaharuan yang dilakukan secara terus menerus pasca generasi Nabi, sehingga dalam perjalanan selanjutnya pendidikan Islam terus mengalami perubahan baik dari segi kurikulum (mata pelajaran), maupun dari segi lembaga pendidikan Islam yang dimaksud. Hal ini berarti bahwa sesungguhnya adanya upaya perubahan, walaupun sedikit benar-benar telah nampak dan terjadi secara alamiah (nature) dalam pendidikan Islam.
Sedikitnya ada 5 fase yang dapat menjadi acuan dalam memahami dan menjelaskan periodesasi pendidikan Islam. Pertama, masa pembinaan pendidikan Islam, kondisi pendidikan Islam yang terjadi pada masa awal kenabian Muhammad; kedua, masa pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam, yaitu kondisi pendidikan Islam yang terjadi pada masa Nabi Muhammad dan masa Khulifaurrasyidin; ketiga, masa kejayaan pendidikan Islam, satu kondisi pendidikan Islam yang banyak menggunakan dua pola pemikiran berbeda. Dari pola pemikiran yang bersifat tradisional yang lebih banyak didasarkan pada pemahaman konstektual wahyu secara empiris. Masa ini terjadi pada pemerintahan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah; keempat, masa kemunduran pendidikan Islam, satu masa dimana kondisi ummat islam saat itu lebih banyak bertumpu pada cara berpikir rasional yang telah diambil oleh Barat, dan yang kelima, masa pembaharuan atau modernisasi pendidikan Islam. Sebuah totalitas kesadaran kolektif ummat Islam terhadap segala kekurangan dan problematika yang dihadapi pendidikan Islam untuk kemudian dapat diperbaiki dan perbaharui sepadan dengan kemajuan atau minimalnya dapat mengikuti perkembangan yang dilakukan Barat saat itu.1
Masa Abbasiyah merupakan masa ke terbukaan terhadap kebudayaan dan peradaban asing seluas-luasnya. Dikarenakan keterbukaan terhadap pemikiran asing demikian besar maka ia tidak dapat membawa keterbukaan terhadap diri sendiri, yaitu peninggalan Arab Islam. Tidak mengherankan jika pada masa ini muncul empat Imam terkenal dalam ilmu fiqih, yaitu Imam Abu Hanifah (80-150 H), Imam Malik (95-179 H), Imam Asy-Sya’fi (150-204 H), dan Imam Hanbali (164-241 H). sampai sekarang dunia Islam masih mengikuti empat Imam madzhab tersebut. Selain itu, pada masa ini muncul pula pengumpul hadi sahih yang masyhur, yaitu Imam Al-Bukhori (194-256 H). Dalam sejarah Islam dicatat bahwa masa Abbasiyah di sebut dengan “periode keemasan” karena pada masa ini ilmu-ilmu akal sudah mulai masuk dan bermunculan, pembinaan sekolah-sekolah, dan timbulnya pemikiran pendidikan yang Istimewa.2





  1. PEMBAHASAN
Permulaan periode kekuasaan Daulat Abbasiyah di tandai oleh kegiatan penerjemahan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani, Persia, dan bahasa India, dibawah komando kepemimpinan Harun ar-Rasyid dan al- Ma’munsebagai akibat dari kegiatan penerjemahan ini dari para sarjana muslimm sebagian besar di pengaruhi oleh ilmu pengetahuan asing, khususnya ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani. Karya-karya Plato dan Aristotelesdi nilai sangat penting sebagaimana Hanya al- Qur’an. Dalam kaitan inni para sarjana Muslim mulai penafsirkan ajaran islam dalam kerangka pemikiran Aristoteles dan mencoba mengharmoniskan antara ajaran islam dengan filsafat Yunani. Hal ini selanjutnya banyak menimbulkan doktrin pemikiran filsafat yang saling bertentangan sebagaimana di perlihatkan oleh Mu’tazilah. Penguasa Abbasiyah, khususnya al-Ma’mun memberlakukan doktrin tersebut dan mencoba memaksakan pemikiran tersebut kepada kaum muslimin dengan cara yang kasar dan keras. Situasi ini selanjutnya menimbulkan organisasi oposisi yang di dukung oeh para sarjana muslim ortodok dan para teolog lainya. Empat teolog muslim yang besar, yaitu Imam Abu Hanifah (d. 767 A.D), Imam Malik (d. 795 A.D), Imam Syafi’I (825 A.D.) DAN Imam Ahmad bin Hambal (d.855A.D.) Hidup pada peride ini, tetapi ia tidak bergeser dari ajaran Khulafaur Rasyidin dalam segi materi keagamaan.
Pendidikan pada periode ini masih sama dengan pendidikan yang di laksanakan pada peride awal, yaitu dengan menetapkan al-Qur’ansebagai dasar pendidikan. Para siswa, (laki-laki)belajar membaca, menulis tata bahasa(grammar), philology, moral dan praktek ibadah(sholat). Pelajaran membaca al-Qur’an dan praktek ritual di wajibkan, sementara istirahat juga di lakukan secara suka rela atau sekehendak siswa. Dalam hal ini menarik sekali untuk di catat pengetahuan Harun al- Rasyid kepada guru al- Ma’mun: “Ajarkanlah al-Qur’an, sejarah, membaca sya’ir, dan al-sunnah, serta berikanlah keterampilan bercakap-cakap kepadanya. Janganlah ia membuat tidak bahagia, karena yang demikian itu dapat membunuh kecerdasan dan potensi yang di milikinya, tetapi juga jangan terlalu lemah menghadapi mereka.” Catatan ini memperhatikan bahwa pendidikan yang di berikan pendidikan kepada para putera mahkota keadaanya berbeda dengan pendidikan yang umumnyadi berikan kepada masyarakat. Pendidikandasar ini di ikuti dengan pendidikan tingkat lanjutan, yaitu di samping pelajaran al- Qur’an, hadits, juga pelajaran bahasa Arab, literature, filsafat dan lain-lain. Pengajaran tersebut di lakukan oleh para sarjana berpendidikan di masjid masjid. Imam Syafi’I bertugas mengajar tafsir al-Qur’an, hadis, filsafat, retorika, grammar dan syair. Sementara al- Tabary mengajar syair di masjid Amar. Sementara itu al- Jubai yang di kenal sebagai Mu’tazili (abad kesembilan) bertugas sebagai dosen filsafat di Masjid Bashra. Sebagai tambahan perlu di kemukakan bahwa di samping masjid terdapat pula tempat lainya untuk kegiatan pengajaran dan penelitian seperti Baital-Hikmah, Dar al-Ilm dan perpustakaan. Baita al- Hikmah di bangun oleh al- Ma’mun (833 A.D).yang di lengkapi dengan perpustakaan, pusat kegiatan penerjemahan, ruang penelitian dan asrama bagi para pelajar. Sementara itu Khizanat al- Hima telah pula didirikan oleh yahya dan Dar al Ilm oleh ja’far bin Muhammad di Mausil. Pada periode ini juga madrasah-madrasah sudah dapat di jumpai tempat belajar yang meliputi Agama dan filsafat sebagaimana Madrasah yang di bangun oleh al Baihaqi di Nisyafur.3

  1. PENDIDIK
  1. IMAM HANIFAH
Imam Abu Hanifah lahir di Kufah, Irak, tahun 80 H dan wafat di Baghdad pada tahun 150 H. Nama lengkapnya adalah Nu’ma Ibn Tsabit Ibn Zautha. Ayahnya adalah seorang keturunan bangsa Persia yang lahir di Kabul, Afganistan dan seorang saudagar besar, pedagang bahan pakaian. Maka sejak muda, beliau terdidik dalam urusan berdagang dan berniaga. Sebab itu sekalipun beliau telah menjadi pecinta ilmu dan seorang alim terkemuka, namun tetap berdagang ke kota-kota ini. Dan oleh karenanya beliau ternasuk alim baesar yang berharta dan terkenal dengan kedermawanannya.
Sebagai seorang pedagang, imam Abu Hanifah mempunyai sifat seperti; kaya hati, kuat dalam memegang amanah, murah hati, amat kuat dalam menjalankan agama. Karena sifat-sifat itulah Imam Hanifah menjadi pedagang yang tampil beda antara pedagang-pedagang yang lain. Beliau tudak mengambil untung yang berlebihan apabila pembelinya adalah orang yang baik atau lemah ekonominya. Keuntungan berdagang beliau tidak hanya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Beliau pernah mengumpulkan keuntungan dagangnya selama satu tahun kemudian diberikan kepada ulama dan ahli hadist untuk kebutuhan mereka.
Sebelum menggeluti fiqih, Imam Hanafi terlebih dahulu memperdalam ilmu Kalam (teologi). Dalam hal ini beliau dikenal sebagai orang yang berpandangan luas serta rajin bertukar fikir dalam masalah-masalah ketuhanan. Imam Hanafi mulai menggeluti fiqih denga ulama-ulama terkenal, kebanyakan guru-guru beliau ketika itu adalah para ulama tabi’in, diantara mereka: Imam Athaa Abin Rabah (114 H), Imam Nafi Maula Ibnu Umar (117 H) dan lain-lain. Adapun guru beliau yang termashur adalah Muhammad Ibnu Sulaiman (120 H). imam Hanafi berguru padanya dalam tempo 18 tahun.
Pada masa hidupnya, beliau melalui dua masa dinasti, 52 tahun hidup dalam Dinasti Umayyah dan 18 tahun hidup di masa Dinasti Abbasiyah. Dalam perjalanan hidupnya, Imam Hanafi sempat menyaksikan tragedi-tragedi besar di Kufah. Kota Kufah memberikan makna bagi kehidupannya sehingga menjadi seorang ulama dan Imam Al-‘Azam, tetapi disisi lain beliau merasakan kota Kufah sebagai teror yang diwarnai dengan pertentangan politik yang sempat membawanya kedalam ke penjara karena menolak berpartisipasi dalam pemerintahan Bani Umayyah.4
  1. IMAM SYAFI’I
Nama asli Imam Syafi’I adalah Muhammad Abu Abdillah bin Idrist bin Abbas bin Usman bin Syafi’i. ia masih satu keturunan dengan Nabi Muhammad SAW dari moyangnya Abdimanaf, sementara ibunya bernama Fatimah berketurunan dari Ali bin Abi Thalib. Syafi’I dilahirkan pada bulan Rajab tahun 150 H di Khujjah daerah Palestina. Ia dilahirkan dalam keadaan yatim karena ayahnya meninggal pada saat ia dalam kandungan ibunya. Namun dalam keterangan yang lain, ayahnya meninggal di Gaza dua tahun setelah Syafi’I dilahirkan.
Pada usia dua tahun, Syafi’I dibawa pulang ibunya ke tanah airnya di Makkah, kembali ke rumah ayahnya yang dekat dengan Masjidil Haram. Kehidupannya sederhana, bahkan penderitaan dan kesusahan hidup ia alami di masa kecil semakin memacu dirinya untuk giat menuntut ilmu. Semangat belajarnya yang luar biasa ini membuahkan hasil yang spektakuler di luar nalar manusia pada umumnya, karena pada usia sembilan tahun ia sudah hafal Al-Qur’an 30 Juz di luar kepala dan lancar.
Kemudian Syafi’I pergi ke dusun Bani Huzail di Makkah untuk belajar bahasa Arab, karena disana terdapat pengajar-pengajar bahasa Arab yang fasih dan asli. Ia belajar satra Arab sampai mahir dan banyak menghafal syai’ir-sya’ir dari Imrul Al-Qais, Zuhai dan Jarir selama kurang lebih sepuluh tahun. Sampai akhirnya ia terdorong untuk memahami kandungan Al-Qur’an.
Selanjutnya beliau belajar fiqih kepada Muslim ibn Khalid al-Zanjiy orang mufti Makkah dan belajar pada Sufyan Ibn ‘Uyainnah di Makkah. Kemudiaan ia pergi ke Madinah dan menjadi murid Imam Malik hingga gurunya mennggal dunia. Setelah itu ia merantau ke Yaman. Di Yaman ia pernah mendapat tiduhan dari Khalifah Abbasiyah (penguasa waktu itu), bahwa ia telah membai’at ‘Alawiy atau dituduh sebagai Syi’iy. Karena tuduhan itu dihadapkan kepada Harun Ar-Rasyid. Tetapi khalifah membebaskannya dari tuduhan tersebut. Peristiwa ini terjadi pada tahun 184 H. imam Syafi’I wafat pada malam Jum’at tanggal 28 Rajab 204 H, dalam usia 54 tahun akibat penyakit yang dideritanya dan pendarahan terus menerus pada anusnya. 5
  1. AL-GHAZALI
Nama lengkapnya ialah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad, mendapat gelar Imam besar Abu Hamid Al-Ghazali Hujjatul Islam yang dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M, di suatu kampung yang bernama Ghazalah, thusia, suatu kota dinKhurasan, Persia. Ia keturunan Persia dan mempunyai hubungan keluarga dengan raja-raja Saljuk yang memerintahkan daerah Khurasan, Jibal, Irak, Jazirah, Persia dan Ahwaz. Ayahnya seorang miskin yang jujur, hidup dari usaha sendiri, bertenun kain bulu dan ia sering kali mengunjungi rumah alim ulama, menuntut ilmu dan berbuat jasa kepada mereka. Ia (ayah Ghazali) sering berdoa kepada Allah agar diberikan anak yang pandai dan berilmu. Akan tetapi belum sempat menyaksikan (menikmati) jawaban Allah atas doanya, ia meninggal dunia pada saat putra idamannya masih usia anak-anak.6
  1. IBNU KHALDUN
Abdur Rahman Ibn Khaldun di lhirkan di Tunis pada tanggal 27 Mei tahun 1332. Ia adalah keturunan Banu Khaldun dari Spanyol yang kemudian pindah ke Tunis. Ibn Khaldun memulai pendidikanya dengan belajar al-Qur’an. Ia termasuk orang yang beruntung dalam memperoleh pendidikan dasar yang di kakukan guru terkenal di Tunis. Ia menunjukan perhatianya pada masalah hukum, adat istiadat, bahasa, tata bahasa dn syair. Ia kemudian mempelajari logika, filsafat, teologi dan ilmu pengetahuan Islam lainya. Setelah mencapai usia 21 tahun ia bekerja sebagai pegawai pada kerajaan Tunisnamun ia meninggalkan pekerjaan tersebut. Pada tahun 1354 ia di undang ke Fez untuk menjadi tenaga sekretaris pada Abu Enam, tetapi setelah beberapa tahun ia meninggalkan pekerjaan tersebut. Pada tahun 1362 ia pergi keistana Sultan Granada dan tinggaldisana selama dua tahun, dan kemudian pergi ke Afrika. Pada kesempatan tersebut ia mendapatkan kedudukan yang tinggi, dan kemudian pergi ke Qalat bin sama dan tinggal di sana hingga tahun 1378. Pada saat berada di tempat yang tersebut terakhir ini, Ibn Khaldun mulai menulis sejarah dunia yangamat terkenal yang di beri judul Kitab al-I’bar wa Diwan al-Khabar. Pada tahun 1382 ia pergi menuju Mekkah, tetapi berhenti di Kairo, ia diangkat sebagai guru pada Universitas Az-Azhar.7

  1. PESERTA DIDIK
Peserta didik dari setiap masa ke masa adalah milik umum. Umum, kepada siap saja yang ingin menimba ilmu kepada mereka, tidak ada batasan apapun atau syarat apun yang harus dimiliki oleh calon peserta didik. Kecuali, peserta didik harus mampu menjalankan atau memenuhi peraturan yang ada pada lembaga tersebut, formal maupun non formal.
Pada masa Abbasiyah ini, seluruh lembaga pendidikan Islam dapat diklasifikasikan menjadi tiga tingkat, yaitu: pendidikan dasar (rendah), pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.

  1. MATERI PENDIDIKAN
Salah satu keistimewaaan Al-Ghazali adalah penelitian, pembahasan san pemikirannya yang sangat luas dan mendalam, sehingga beliau memandang suatu masalah dari berbagai aspek san sudut pandangan. Berikut uraian pemikiran Al-Ghazali terhadap pendidikan.
  1. ASPEK PENDIDIKAN KEIMANAN
        1. Al-Ghazali mengatakan
        2. “Dan yang iman adalah mengucaokan dengan lidah, mengkui benarnya dengan hati dan mengamlakannya dengan anggota”
        3. Jelasnya bahwa, pengertian iman disini meliputi tiga aspek: pertama, ucapan lidah atau mulut, karena lidah adalah penerjemahan hati, akan tetapi bayi yang baru lahir telah mengakui adanya Allah dengan pengakuan jiwa, bukan oengakuan dengan lidah. Kedua, pembenaran hati dengan cara I’tiqad dan taqlid bagi orang awam atau manusia pada umumnya, sedangkan secara kasyaf (membuka hijab hati) bagi seorang khawas.
  1. ASPEK PENDIDIKAN AKHLAK
        1. Suatu bidang ilmu pengetahuan yang paling banyak mendapat perhatian, pengkajian dan penelitian oleh Al-Ghazali adalah lapangan ilmu akhlak karena banyak berkaitan dengan perilaku manusia, sehingga hampir setiap kitab-kitabnya yang meliputi berbagai bidang selalu ada hubungannya dengan pelajaran akhlak dan pembentukan budi pekerti manusia.
        2. Al-Ghazali memeng begitu besar memperhatikan sekaligus usahanya yang tak pernah berhenti untuk mengarahkan kehidupan manusia menjadi berakhlak, bermoral. Dia pun sebagai penggebrak kebiadaban. Hampir seluruh hidupnya ia curahkan untuk berkampanye yang bertema “ Gerakan Akhlak Moral”
        3. Al-Ghazali memberikan definisi akhlak “ Al-Khuluk (jamaknya Al-Akhlaq) ia ibarat (sifata atau keadaan) dari perilaku yang konstan (tetap) dan meresap dalam jiwa, daripadanya tumbuh perbuatan-perbuatan dengan wajar dan mudah, tanpa memerlukan pikiran dan pertimbangan”
  1. ASPEK PENDIDIKAN AKLIYAH
        1. Al-Ghazali menjelaskan:
        2. “Akal adalah sebagai sumber ilmu pengethuan tempat terbit dan sendi-sendinya. Dalam ilmu pengetahuan itu berlaku dari akal, sebagaimana berlakunya buah-buahan dari pohon, sinar dari matahari dan penglihatan dari mata”
        3. Bahwa akal adalah sumber ilmu pengeahuan, teknologi untuk menemukan dan menciptakan alat-alat yang berguna baginya untuk menghadapi problema-problema kehidupan manusia. Manusia memerlukan alat dan sarana untuk makan, berpakaian, erumahan, kesenagan jasmani dan rohani dan sebaiknya. Nadhariah segala karya manusia inilah yang disebut kebudayaan.
  1. ASPEK PENDIDIKAN SOSIAL
Secara sosiologis, manusia adalah mahluk hidup sosial, Zoon Politicon-homo sosios; ia tidaklah dapat hidup seorang diri dan terpisah dari manusia yang lain. Manusia senantiasa hidup dalam kelompok-kelompok yang saling menguuntungkan, baik kelompok kecil seperti keluarga maupun kelompok besar atau masyarakat.
  1. ASPEK PENDIDIKAN JASMANIYAH
        1. Al-Ghazali menempatkan aspek jasmaniyah manusia pada tingkat yang ketiga dari tingkat-tingkat kebahagiaan manusia, ia berpendapat:
        2. “Keutamaan-keutamaan jasmaniyah terdiri dari empat macam: kesehatan jasmaniyah, kekuatan jasmani, keindahan jasmani dan panjang umur”8
Dan masih banyak lagi materi ajar yang disampaikan pada murid-muridnya, diantaranya: membaca dan menghapal Al-Qur’an, pokok-pokok agama islam, menulis, tarikh, membaca dan menghapal sya’ir, berhitung, dasar-dasar nahwu dan sharaf, bahasa Arab dan sastranya, fiqh, tafsir, hadist, ilmu-ilmu eksakta, mantik, falaq, ilmu-ilmu kealaman, kedokteran, musik, filsafat ilmu hewan dan masih banyak lagi.9


  1. METODE PEMBELAJARAN
Menurut Ibn Khaldun berpendapat bahwa kemampuan berfikir adalah naluri khusus yang dimiliki manusia yang di berikan Tuhan khusus kepadanya dan tidak kepada makhlu lainya. Akal adalah factor penggerak dan pendorong yang terdapat dalam jiwa. Kemampuan akal ini memiliki tiga tipe sebagai berikut:
  1. Intellegensi kecerdasan yang memungkinkan manusia memahami segala sesuatu sebagaimana ia jumpai dalam kehidupan masyarakat manusia.
  2. Intellegensi ekperimen yang memungkinkan manusia untuk menerima pandangan dan mengajarnya tentang berbagai aturan dan perbuatan.
  3. Intellegensi meramalkan yang memberikan pandangan tentang ide-ide umum mengenai sesuatu yang ada sesuai dengan jenis, tingkatan penyebab yang bersifat pokok dan sekunder.
  4. Tipe-tipe pemikiran ini dapat di jumpai dalam penduduk masyarakat. Itulah sebagai hasil dari fungsi masyarakat tertentu dan manifestasi yang unik bagi kehidupan masyarakat seperti waktu luang untuk merenung (berkontemplasi)..10
Jika menurut Imam Abu Hanifah ialah menggunakan kecerdasan berfikir. Seorang mujtahid maupun seorang pendidik, Abu Hanifah mempunyai metode yang baik dalam menerapkan pelajarannya kepada murid-muridnya. Sistem yang dipakai Abu Hanifah dalam memberi pelajarannya kepada para muridnya, bukan dengan cara menyuapin atau memompakan ilmu kepada mereka, karena cara itu dianggap mematikan daya ingat seseorang. Beliau mengembangkan metode bimbingan yakni menuntun atau membimbing murid supaya berkembang sebagaimana wajarnya. Abu Hanifah selalu menekankan kepada murid-muridnya untuk berfikir kritis. Beliau tidak ingin muridnya menerima begitu saja yang disampaikannya, melainkan mereka boleh mengemukakan tanggapan, pendapat dan kritik. Seringkali beliau ditemukan berdiskusi dan berdebat dengan muridnya tentang suatu masalah. Beliau memberikan kebebasan berfikir dan mengemukakan pendapat kepada murid-muridnya.
Dalam dunia pendidikan, berfikir rasional dan kritis adalah perwujudan perilaku belajar terutama yang bertalian dengan pemecahan masalah. Pada umumnya murid yang berfikir rasional alan menggunakan prinsip-prinsip dan dasar-dasar pengertian dalam menjawab pertanyaan “Bagaimana” dan “ Mengapa”. Dalam berfikir rasional murid akan dituntut menggunakan logika atau akal sehat untuk menentukan sebab akibat, menganalisis, menarik kesimpulan-kesimpulan dan bahkan juga menciptakan hukum-hukum (kaidah teoritis) dan ramalan-ramalan. Dalam hal berfikir kritis, murid dituntut menggunakan strategia tertentu yang tepat untuk menguji keandalan pemecahan permasalahan dan mengatasi kesalahan ataupun kekurangan.
Seyognyalah, bahwa objek pikiran atau permasalahan tiu ada dalam lingkungan minat dan kemampuan anak. Setiap pemecahan permasalahan memerlukan tahap berfikir paling sukar. Untuk mengetahui jenis latihan dan macam tugas yang dapat mendorong melakukan kerja fikir sampai taraf tertentu, pengajra perlu mengetahui macam taraf berfikir yang ada. Taraf-taraf berfikir merupakan hasil penemuan dan penelitian yang dilakukakan oleh para psikolog dalam masalah belajar. Dibawah ini adalah lima kegiatan dalam tahap berfikir: Imam Abu Hanifah (80 H-150 H) Pengaruh Berfikir Dalam Pendidikan11
Taraf
Nama Taraf Berfikir
Macam kerja fikir yang diajarkan
5
Evaluasi
Berfikir kreatif atau berfikir untuk memecahkan masalah
4
Analisa dan sintesa
Berfikir menguraikan dan menggabungkan
3
Alikasi
Berfikir menerapkan
2
Komprehensif
Berfikir dalam konsep dan belajat pengertian
1
Pengetahuan
Belajar reseptif atau menerima

  1. LEMBAGA PENDIDIKAN
Seluruh lembaga pendidikan Islam pada masa Abbadiyah dapat dikalsifikasikan menjadi tingkat. Pertama, pendidikan dasar (rendah) yang terdiri dari kuttab, rumah, toko, pasar dan istana. Kedua, pendidikan menengah yang mencakup masjid dan sanggar seni dan ilmu pengetahuan. Ketiga, pendidikan tinggi yang meliputi masjid, madrasah, dan perpustakaan seperti Bait al-hikmah di baghdad dan dar al-ulum di kairo.12



  1. PENUTUP/KESIMPULAN
Masa Abbasiyah merupakan masa ke terbukaan terhadap kebudayaan dan peradaban asing seluas-luasnya. Dikarenakan keterbukaan terhadap pemikiran asing demikian besar maka ia tidak dapat membawa keterbukaan terhadap diri sendiri, yaitu peninggalan Arab Islam. Tidak mengherankan jika pada masa ini muncul empat Imam terkenal dalam ilmu fiqih, yaitu Imam Abu Hanifah (80-150 H), Imam Malik (95-179 H), Imam Asy-Sya’fi (150-204 H), dan Imam Hanbali (164-241 H). sampai sekarang dunia Islam masih mengikuti empat Imam madzhab tersebut. Selain itu, pada masa ini muncul pula pengumpul hadi sahih yang masyhur, yaitu Imam Al-Bukhori (194-256 H). Dalam sejarah Islam dicatat bahwa masa Abbasiyah di sebut dengan “periode keemasan”.












  1. DAFTAR PUSTAKA
Alavi, Ziannuddin. (2003). “Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Klasik dan Pertengahan”. Bandung:Angkasa.
Al-Khudhari, Zainab. (1979). “Filsafat Sejarah Ibn Khaldun” Bandung: Pustaka.
Arief, Armai. (2004). “Sejarah pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Klasik” Jakarta: Angkasa dan UIN Jakarta
Fauzan dan Suwito. (2003). “Sejarah Pemikiran para Tokoh Pendidikan” Bandung: Angkasa.
Susanto, A. (2009). “Pemikiran Pendidikan Islam”. Jakarta:Amzah
Zainuddin, Dkk. (1991). “Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali” Jakarta: Aksara.



1 Suwito dan Fauzan. (2003). “Sejarah Pemikiran para Tokoh Pendidikan” Jakarta: Angkasa. pp. 1-2


2 Susanto. (2009). “Pemikiran Pendidikan Islam” Jakarta: Amzah. Pp. 28-29

3 Ziannuddin. (2003). “Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Klasik dan Pertengahan” Jakarta:Angkasa. pp. 4-5

4 . Suwito dan Fauzan. Op. Cit, Pp. 28-30

5 Suwito dan Fauzan. Ibid, Pp. 42-47

6 Zainuddin Dkk. (1991). “Seluk Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali” Jakarta: Bumi Aksara. P. 7

7 Ziannudin. Ibid. pp. 69-70

8 Zainuddin Dkk. Op. Cit, Pp.96-126

9 Armai, Arief. (2004). “Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam Klasik” Jakarta: Angkasa dan UIN. Pp:139-140

10 Zainab Al-Khudari. (1979). “Filsafat Sejarah Ibn Khaldun” Bandung:Pustaka. Pp.8-9

11 Suwito dan Fauzan. Ibid, Pp. 32-37

12 Arma, Arief. Op. Cit. p. 139

Tidak ada komentar:

Posting Komentar