Sabtu, 01 Maret 2014

akhlak berpakaian, berhias, perjalanan, bertamu dan menerima tamu


BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Agama Islam adalah agama yang sempurna, mengatur kehidupan manusia dengan segala aspeknya. Ajaran Islam tidak saja hanya mengatur hubungan vertikal manusia (hablum minallah), tetapi juga hubungan secara horizontal dengan ssamanya (hablum minannas). Karena itulah Islam sebagai ajaran yang sempurna, mengajarkan kepada manusia mulai dari bagaimana cara bergaul, berpakaian, bertamu, makan, minum, tidur sampai bagaimana cara menyembah kepada Sang Khalik Allah SWT.
Sejak awal agama Islam telah menanamkan kesadaran akan kewajiban pemeluknya untuk menjaga sopan santun (adab) dalam berbagai aspek kehidupan. Karena sopan santun (akhlak) menunjukkan karakteristik kualitas kepribadian seorang muslim. Bahkan Nabi Muhammad SAW mengukur keimanan seseorang dengan orang yang berbudi pekerti yang baik (Akhlak Karimah). Untuk memberikan gambaran lebih rinci berikut akan dibahas adab berpakaian, berhias, dalam perjalanan, bertamu dan menerima tamu.
  1. Rumusan Masalah
  1. Bagaimana akhlak berpakaian ?
  2. Bagaimana akhlak berhias ?
  3. Bagaimana akhlak dalam perjalanan ?
  4. Bagaimana akhlak bertamu ?
  5. Bagaimana akhlak menerima tamu ?



  1. Tujuan
  1. Untuk mengetahui bagaimana akhlak berpakaian
  2. Untuk mengetahui bagaimana akhlak berhias
  3. Untuk mengetahui bagaimana akhlak dalam perjalanan
  4. Untuk mengetahui bagaimana akhlak bertamu
  5. Untuk mengetahui bagaimana akhlak menerima tamu















BAB II
PEMBAHASAN
  1. Akhlak Berpakaian
  1. Pengertian
Pakaian (jawa : sandang) adalah kebutuhan pokok bagi setiap orang sesuai dengan situasi dan kondisi dimana seorang berada. Pakaian memiliki manfaat yang sangat besar bagi kehidupan seorang, guna melindungi tubuh dari semua kemungkinan yang merusak ataupun yang menimbulkan sara sakit. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pakaian diartikan sebagai “barang yang bisa dipakai oleh seseorang baik berupa baju, jaket, celana, sarung, kerudung, dan lain sebagainya”.
Secara istilah, pakaian adalah segala sesuatu yang dikenakan seseorang dalam berbagai ukuran dan modenya berupa (baju, celana, sarung, jubah ataupun yang lainnya), yang disesuaikan dengan kebutuhan pemakainya untuk suatu tujuan yang bersifat khusus ataupun umum. Tujuan bersifat khusus artinya pakaian yang dipakai lebih berorientasi pada nilai keindahan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi pemakaian.
Tujuan bersifat umum lebih berorientasi pada keperluan untuk menutup ataupun melindungi bagian tubuh yang perlu ditutup atau dilindungi, baik menurut kepatutan adat ataupun agama. Menurut kepatutan adat berarti sesuai mode ataupun batasan ukuran untuk mengenakan pakaian yang berlaku dalam suatu wilayah hukum adat yang berlaku. Sedangkan menurut ketentuan agama lebih mengarah pada keperluan menutup aurat sesuai ketentuan hukum syari’at dengan tujuan untuk beribadah dan mencari ridlo Allah. (Roli A. Rahman, dan M. Khamzah, 2008 :30)
  1. Bentuk Akhlak berpakaian
Dalam pandangan Islam pakaian dapat diklasifikasikan menjadi dua bentuk, yaitu : pertama, pakaian untuk menutupi aurat tubuh sebagai realisasi dari perintah Allah bagi wanita seluruh tubuhnya kecuali kedua telapak tangan dan wajah, dan bagi pria menutup badan antara pusar dan lutut. Standar pakaian ini dalam perkembangannya telah melahirkan kebudayaan berpakaian bersahaja sopan dan santun serta menghindarkan manusia dari gangguan dan eksploitasi aurat. Sedangkan yang kedua pakaian merupakan perhiasan yang menyatakan identitas diri sebagai konsekuensi perkembangan peradaban manusia.
Berpakaian dalam pengertian menutup aurat, dalam syari’at Islam memiliki ketentuan yang jelas, baik ukuran aurat yang harus ditutup ataupun jenis pakaian yang digunakan untuk menutupnya. Berpakaian yang menutup aurat juga menjadi bagian integral dalam menjalankan ibadah terutama shalat ataupun haji dan umrah. Karena itu setiap orang yang beriman baik pria ataupun wanita memiliki kewajiban untuk berpakaian yang menutup aurat,.
Sedangkan pakaian yang berfungsi sebagai perhiasanyang menyatakan identitas dirisesuai dengan adaptasi dan tradisi dalam berpakaian merupakan kebutuhan manusia untuk menjaga dan mengaktualisasikan dirinya menurut tuntutan perkembangan zaman. Nilai keindahan dan kekhasan brpakaian menjadi tuntutan yang terus dikembangkan seiring dengan perkembangan zaman. Dalam kaitannya pakaian sebagai perhiasan, maka setiap manusia memiliki kebebasan untuk mengekspresikan keinginan untuk mengembangkan berbagai mode pakaian menurut fungsi dan momentumnya namun dalam agama harus tetap pada nilai-nilai dan koridor yang telah digariskan dalam Islam.
Pakaian yang berfungsi menutup aurat pada wanita dikenal dengan istilah jilbab, dalam bahasa sehari-hari jilbab menyangkut segala macam jenis selendang atau kerudung yang menutupi kepala (kecuali wajah), leher, punggung dan dada. Dengan pengertian seperti itu selendang yang masih memperlihatkan sebagian rambut atau leher tidaklah dinamakan jilbab.
Jilbab juga biasa diartikan sebagai busana muslimah dalam hal ini secara khusus berarti selendang atau kerudung yang berfungsi menutup aurat. Busana muslimah haruslah memenuhi kriteria berikut ini :
  1. Tidak transparan dan ketat
  2. Tidak menyerupai pakaian lelaki
  3. Tidak menyerupai busana khusus non muslim
  4. Pantas dan sederhana
  1. Nilai Positif Akhlak Berpakaian
Setiap muslim diwajibkan untuk memakai pakaian yang tidak hanya berfungsi sebagai menutup aurat dan hiasan, akan tetapi harus dapat menjaga kesehatan lapisan terluar dari tubuh kita. Kulit sebagai pelindung dari kerusakan-kerusakan fisik karena gesekan, penyinaran dan lain-lain. Di daerah tropis dimana pancaran sinar ultra violet begitu kuat, maka pakaian ini menjadi sangat penting. Pancaran radiasi sinar ultra violet dapat menimbulkan terbakarnya kulit, penyakit kangker kulit dan lain-lain.
Dalam kaitannya dengan penggunaan bahan, hendaknya pakaian terbuat dari bahan yang menyerap keringat seperti katun, karena mudah terjadinya penguapan keringat dan untuk menjaga suhu kestabilan tubuh agar tetap normal. Pakaian harus bersih dan selalu dicuci setelah dipakai supaya terbebas dari kuman, bakteri ataupun semua unsur yang merugikan bagi kesehatan tubuh manusia.
Agama Islam mengajarkan kepada pemeluknya agar berpakaian yang baik, indah dan bagus sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dalam pengertian bahwa pakaian tersebut dapat memenuhi hajat tujuan berpakaian, yaitu menutupi aurat dan keindahan. Sehinggga bila hendak menjalankan shalat pakaian tersebut langsung dapat memenuhi syarat digunakan untuk menjalankan shalat dan seyogyanya pakaian yang kita pakai itu adalah pakaian yang baik dan bersih (bukan berarti mewah). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-A’raf ayat 31 :
                 
Artinya : “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid[534], Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”.
Islam mengajak manusia untuk hidup secara wajar, berpakaian secara wajar, makan minum juga jangan kurang dan jangan berlebihan.
Ketentuan dan kriteria busana muslimah menurut Al-Qur’an dan Sunnah memang lebih ketat dibanding ketentuan berbusana untuk kaum pria. Hal-hal yang tidak diatur dalam Al-Qur’an dan Sunnah diserhkan kepada pilihan masing-masing, misalnya warna dan mode. Keduanya menyangkut selera dan budaya, pilihan warna dan mode akan selalu berubah sesuai dengan perkembangan peradaban umat manusia. Karna itu apapun model busanannya, maka haruslah dapat mengantarkan menjadi hamba Allah yang bertaqwa. (Roli A. Rahman dan M. Khamzah, 2008:3)
  1. Akhlak Berhias
  1. Pengertian
Dalam kehidupan masyarakat dewasa ini, berhias adalah kebutuhan dasar untuk memperindah penampilan diri, baik dilingkungan rumah ataupun diluar rumah. Berhias adalah bentuk ekspresi personal, yang menegaskan jati diri dan menjadi kebanggaan seseorang. Secara istilah berhias dapat dimaknai sebagai upaya setiap orang untyk memperindah diri dengan berbagai busana, assesoris ataupun yang lain dan dapat memperindah diri bagi pemakainya, sehingga memunculkan kesan indah bagi yang menyaksikan serta menambah rasa percaya diri penampilan untuk suatu tujuan. Berdasarkan ilustrasi diatas, maka dapat dipahami bahwa pada hakekatnya berhias itu dapat dikategorikan akhlak terpuji, sebagai perbuatan yang dibolehkan bahkan dianjurkan selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar Islam. Dalam sebuah Hadits Nabi SAW bersabda :
انَّ اللهَ جَمِيْلٌ وَيُحِبُّ الْجَمَالَ (رواه مسلم)
Artinya : “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan”. (H.R. Muslim)
Adapun tujuan berhias adalah untuk memperindah diri sehingga lebih memantapkan pelakunya menjadi insan yang lebih baik (muttaqin).
(Roli A. Rahman dan M. Khamzah, 2008:33)
  1. Bentuk Akhlak berhias
Berhias merupakan perbuatan yang diperintahkan ajaran Islam. Mengenakan pakaian merupakan salah satu bentuk berhias yang diperintahkan. Pakaian dalam islam memiliki fungsi hiasan yaitu untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tidak sekedar membutuhkan pakaian penutup aurat, tatapi juga busana yang memperelok pemakainya.
Pada masyarakat yang sudah maju peradabannya, mode pakaian ataupun berdandan memperoleh perhatian lbih besar. Jilbab, dalam konteks ini menjalankan fungsi sebagai hiasan bagi para muslimah. Mode jilbab dari waktu ke waktu mengalami perkembangan. Jilbab bukan hanya sebagai penutup aurat, namun juga memberikan keelokan dan keindahan bagi pemakainya untuk mempercantik dirinya.
Berhias dalam ajaran Islam tidak sebatas pada penggunaan pakaian, tetapi mencakup seluruh piranti (alat) aksesoris yang lazim digunakan untuk mempercantik diri mulai dari kalung, gelang, anting-anting, bross dan yang lainnya. Disamping itu dalam kehidupan modern, berhias juga mencakup penggunaan bahan atau alat tertentu untuk melengkapi dandanan dan penampilan mulai dari bedak, make up, semir rambut, parfum dan sejenisnya.
Agama Islam telah memberikan rambu-rambu yang tegas agar setiap muslim mengindahkan kaidah berhis yang meliputi :
  1. Niat yang lurus, yaitu berhias hanya untuk beribadah, artinya segala bentuk kegiatan berhias diorientasikan sebagai bentuk nyata bersyukur atas nikmat dan bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah
  2. Dalam berhias tidak dibenarkan menggunakan bahan-bahan yang dilarang agama
  3. Dilarang berhias menggunakan simbol-simbol non muslim semisal salib
  4. Tidak berlebih-lebihan
  5. Dilarang berhias seperti cara berhiasnya orang-orang jahiliyah
  6. Berhias menurut kelaziman dan kepatutan dangan memperhatikan jenis kelamin
  7. Dilarang berhias untuk keperluan berfoya-foya ataupun riya.
Islamn telah memberikan batasan-batasan yang jelas agar manusia tidak tertimpa bencana karena nalurinya yang cenderung mengikuti hawa nafsunya. Sebab seringkali naluri manusia berubah menjadi nafsu liar yang menyesatkan dan akan menimbulkan bencana bagi kehidupan manusia. Agama islam memberi batassan dalam etika berhias, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah berikut :
                           
Artinya : “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu[1215] dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu[1216] dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait[1217] dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
[1215] Maksudnya: isteri-isteri Rasul agar tetap di rumah dan ke luar rumah bila ada keperluan yang dibenarkan oleh syara'. perintah ini juga meliputi segenap mukminat.
[1216] Yang dimaksud Jahiliyah yang dahulu ialah Jahiliah kekafiran yang terdapat sebelum Nabi Muhammad s.a.w. dan yang dimaksud Jahiliyah sekarang ialah Jahiliyah kemaksiatan, yang terjadi sesudah datangnya Islam.
[1217] Ahlul bait di sini, Yaitu keluarga rumah tangga Rasulullah s.a.w.
(Roli A. Rahman dan M. Khamzah, 2008:34)
  1. Nilai Positif Akhlak Berhias
Berhias secara Islami akan memberikan pengaruh positif dalam berbagai aspek kehidupan,karena berhias yang dilakukan diniatkan sebagai ibadah, maka segala aktifitas berhias yang dilakukan seorang muslim akan menjadi jalan mendapatkan barokah dan pahala dari Allah SWT. Namun sebaliknya apabila seorang dalam berhias (berdandan) mengabaikan norma Islam, maka segala hal yang dilakukan dalam berdandan akan menjadi pendorong untuk melakukan kemaksiatan, kemungkaran bahkan menjadi sarana memasuki perangkap syaiton yang menyesatkan.
Adapun bentuk perangkap setan dalam berhias, dapat kita telusuri meelalui kisah manusia pertama sebelum diturunkan dibumi. Ketika Adam dan Hawa masih tinggal di surga setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya. Setan membujuk mereka untuk menampakkan auratnya dengan cara merayu mereka untuk memakan buah khuldi.
                         
Artinya : “Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk Menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka Yaitu auratnya dan syaitan berkata: "Tuhan kamu tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi Malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga)". (Q.S Al-A’raf : 20)
Dari peristiwa tersebut, kita dapat mengambil dua pelajaran. Pertama, ide membuka aurat adalah idenya setan yang selalu hadir dalam lintasan pikiran manusia. Kedua, Adam dan Hawa diusir dari surga karena terjebal pada perangkap setan, maka derajat mereka turun dengan drastis. Begitulah siapapun yang mau dijebak setan akan mengalami nasib yang sama. (Roli A. Rahman dan M. Khamzah, 2008:35)
  1. Akhlak Perjalanan
  1. Pengertian
Perjalanan dalam bahasa Arab disebut dengan kata “rihlah atau safar”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjalanan diartikan “ perihal (cara, gerak, dsb) berjalan atau bepergian dari suatu tempat menuju tempat yang lain untuk suatu tujuan”. Secara istilah, perjalanan sebagai aktivitas seseorang untuk keluar ataupun meninggalkan rumah dengan berjalan kaki ataupun menggunakan sarana transportasi yang mengantarkan sampai pada tempat tujuan dengan maksud ataupun tujuan tertentu.
Dengan demikian rumah tinggal merupakan start awal dari semua jenis perjalanan yang dilakukan setiap orang, sedangkan finisnya berada pada tempat yang menjadi tujuan dari setiap perjalanan. Namun demikian setelah seorang sampai pada tempat tujuan dan telah menemukan ataupun mendapatkan sesuatu yang dicari, maka pada suatu saat mereka akan kembali kerumah. Perjalanan yang demikian ini kemudian dikenal dengan nama pulang pergi (PP).
Perjalanan pulang pergi secara berkesinambungan menunjukkan adanya mobilisasi yang tinggi dan menjadi ciri masyarakat modern. Apabila pada suatu kampung, sebagian besar masyarakatnya melakukan perjalanan pulang pergi pada setiap harinya, maka hal tersebut menunjukkan adanya mobilisasi masyarakat dan menjadi pertanda kemajuan dari kesejahteraan masyarakat.
Pada masyarakat modern, perjalanan (safar) menjadi bagian mobilisasi kehidupan, artinya semakin maju kehidupan seseorang maka akan semakin sering seseorang melakukan perjalanan untuk berbagai tujuan. Pada masa Rasulullah, perjalanan untuk berbagai keperluan (terutama berdagang) telah menjadi tradisi masyarakat Arab. Pada musim tertentu masyarakat Arab melakukan perjalanan ke berbagai teempat untuk berbagai keperluan. Hal tersebut diabadikan oleh Allah dalam Al-qur’an surat Al-Quraisy. Karena itu tidak heran jika Islam satu-satunya agama yang mengatur kegiatan manusia dalam melakukan perjalanan, mulai dari masa persiapan perjalanan, ketika masih berada dirumah, selanjutnya pada saat dalam perjalanan dan ketika sudah kembali pulang dari suatu perjalanan. (Roli A. Rahman dan M. Khamzah, 2008:37)
  1. Bentuk Akhlak Perjalanan
Islam mengajarkan agar setiap perjalanan yang dilakukan bertujuan untuk mencpai ridho Allah. Diantara jenis perjalanan (safar) yang dianjurkan dalam Islam yaitu pergi haji, umrah, menyambung silaturrahmi, menuntut ilmu, berdakwah, berperang dijalan Allah, mencari karunia Allah dan lain-lain. Perjalanan (safar) juga berfungsi untuk menyehatkan dan merefresing kondisi jasmani dan rohani dari kelelahan dan kepenatan dalam menjalani suatu aktivitas. Sebagai pedoman Islam, mengajarkan adab dalam melakukan perjalanan yaitu :
  1. Bermusyawarah dan shalat Istikharah
  2. Mengembalikan hak dan amanat kepada pemiliknya
  3. Membawa 6 benda : gunting, siwak, tempat celak, tempat air minum, cebok dan wudhu. Hal tersebut disunnahkan Rasulullah
  4. Menyertakan Istri ataupun anggota keluarga
  5. Wanita menyertakan teman atau muhrimnya
  6. Memiliki kawan pendamping yang shalih dan shalihah
  7. Mengangkat pemimpin atau ketua rombongan
  8. Mohon pamitan pada keluarga dan handai taolan serta mohon do’a

  1. Nilai positif Akhlak Perjalanan
Keuntungan melakukan perjalanan diantaranya yaitu:
  1. Safar dapat menghibur diri dari kesedihan
  2. Safar menjadi sarana bagi sesorang untuk memperoleh tambahan pengalaman
  3. Safar dapat mengantarkan seseorang untuk memperoleh pengalaman dan ilmu pengetahuan
  4. Dengan Safar maka seseorang akan lebih banyak mengenal adat kesopanan yang berkembang pada suatu komunitas masyarakat.
  5. Perjalanan akan dapat menambah wawasan dan bahkan kawan yang baik dan mulia.(Roli A. Rahman, dan M. Khamzah, 2008: 39)
  1. Akhlak Bertamu
  1. Pengertian
Bertamu merupakan tradisi masyarakat yang selalu dilestarikan. Dengan bertamu seorang bias menjalin persaudaraan bahkan dapat menjalin kerja sama untuk meringankan berbagai masalah yang dihadapi dalam kehidupan. Adakalanya seorang bertamu karena adanya urusan yang serius, mialnya untuk mencari solusi terhadap problema masyarakat actual, sekedar bertandang, karena lama tidak ketemu (berjumpa) ataupun sekedar untuk mampir sejenak. Dengan bertandang ke rumah kerabat atau sahabat, maka kerinduan terhadap kerabat ataupun sahabat dapat tersalurkan, sehingga jalinan persahabatan menjadi kokoh.
Bertamu dalam bahaa Arab disebut dengan kata “Ataa liziyaroti, atau Istadloofa-Yastadliifu”. Menurut kamus bahasa Indonesia, bertamu diartikan ; “datang berkunjung kerumah seorang teman ataupun kerabat untuk suatu tujuan ataupun maksud (melawat dan sebagainya)”. Secara istilah bertamu merupakan kegiatan mengunjungi rumah sahabat, kerabat ataupun orang lain, dalam rangka menciptakan kebersamaan dan kemaslahatan bersama.
Tujuan bertamu sudah barang tentu untuk menjalin persaudaraan ataupun persahabatan. Sedangkan bertamu kepada orang yang belum dikenal, memiliki tujuan untuk saling memperkenalkan diri ataupun bermaksud lain yang belum diketahui kedua belah pihak.
Bertamu merupakan kebiasaan positif dalam kehidupan bermasyarakat dari zaman tradisional sampai zaman modern. Dengan melestarikan kebiasaan kunjung mengunjungi, maka segala persoalan mudah diselesaikan, segala urusan mudah dibereskan dan segala masalah mudah diatasi.
  1. Bentuk Akhlak Bertamu
Sebelum memasuki rumah seseorang, hendaklah orang yang bertamu terlebih dahulu meminta izin dan mengucapkan salam kepada penghuni rumah. Allah berfirman: Artinya:”Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.”(Q.S. an-Nur/24:27).
Berdasarkan isyarat al-Qur’an di atas, maka yang pertama dilakukan adalah meminta izin, baru kemudian mengucapkan salam. Sedangkan menurut mayoritas ahli fiqih berpendapat sebaliknya. Menurut Rasululluh SAW, meminta izin maksimal boleh dilakukan tiga kali.
Disamping meminta izin dan mengucapkan salam, hal lain yang perlu diperhatikan oleh setiap orang yang bertamu sebagai berikut:
  1. Jangan bertamu sembarangan waktu.
  2. Kalau diterima bertamu, jangan selalu lama sehingga merepotkan tuan rumah. Setelah urusan seleai segeralah pulang.
  3. Jangan melakukan kegiatang yang membuat tuan rumah terganggu.
  4. Kalau disuguhi minuman atau makanan hormatilah jamuan itu. Bahkan Rasulullah saw. Menganjurkan kepada orang yang berpuasa sunnah sebaiknya berbuka puasanya untuk menghormati jamuan.
  5. Hendaklah pamit pada waktu mau pulang.

  1. Akhlak Menerima Tamu
  1. Pengertian
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, menerima tamu (ketamuan) diartikan; “kedatangan orang yang bertamu, melawat atau berkunjung”. Secara istilah menerima tamu dimaknai menyambut tamu dengan berbagai cara penyambutan yang lazim (wajar) dilakukan menurut adat ataupun agama dengan maksud yang menyenangkan atau memuliakan tamu, atas dasar keyakinan untuk mendapatkan rahmat dan ridha dari Allah SWT.
  1. Bentuk Akhlak Menerima Tamu
Islam sebagai agama yang sangat serius dalam memberikan perhatian orang yang sedang bertamu. Sesungguhnya orang yang bertamu telah dijamuin hak-haknya dalam islam. Karena itu menghormati tamu merupakan perhatian yang mendatangkan kemuliaan di dunia dan akhirat. Setiap muslim wajib memuliakan tamu, tanpa membeda-bedakan status sosial ataupun maksud dan tujuan bertamu.
Memuliakan tamu dilakukan antara lain dengan menyambut kedatangannya dengan muka manis dan tutur kata yang lemah lembut, mempersilahkan duduk ditempat yang baik. Kalau perlu, disediakan ruangan khusus untuk menerima tamu yang selalu dijaga kerapian dan keasriannya.
Kalau tamu datang dari tempat yang jauh dan ingin menginap, tuan rumah wajib menerima dan menjamunya maksimal tiga hari tiga malam. Lebih dari tiga hari terserah kepada tuan rumah untuk tetap menjamunya atau tidak. Menurut Rasulullah saw menjamu tamu lebih dari tiga hari nilainya sedekah, bukan lagi kewajiban.
  1. Nilai Positif Akhlak Menerima Tamu
Setiap orang islam telah diikat oleh suatu tata aturan supaya hidup bertetangga dan bersahabat dengan orang lain, sekalipun berbeda agama atau suku. Hak-hak mereka tidak boleh dikurangi dan tidak boleh dilanggar undang-undang perjanjian yang mengikat di antara sesama manusia.
Menerima tamu sebagai perwujudan keimanan, artinya semakin kuat iman seseorang, maka semakin ramah dan santun dalam menyambut tamunya karena orang yang beriman meyakini bahwa menyambut tamu bagian dari perintah Allah.
Menyambut tamu dapat meningkatkan akhlak, mengembangkan kepribadian, dan tamu juga dapat dijadikan sebagai sarana untuk mendapatkan kemashalatan dunia ataupun akhirat.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Agama Islam adalah agama yang sempurna, mengatur manusia dalam segala aspeknya. Berpakaian, Berhias, perjalanan, bertamu serta menerima tamu tetap ada aturannya dalam Islam. Semua akhlak tersebut adalah akhlak terpuji apabila kita melakukannya hanya karena Allah SWT, tanpa ada niat yang berlebihan dan lain dari pada niat kita kepada Allah SWT.
Maka dari itu, kita tidak boleh menyalah gunakan arti pakaian. Yang sebetulnya untuk melindungi tubuh dari bahaya serta menutup aurat, fungsinya berubah menjadi untuk memamerkan bentuk lekuk tubuh. Berhias juga tidak boleh kita salah gunakan. Haruslah sesuai kadarnya, agar tidak menimbulkan pandangan buruk terhadap kita. Dan jangan gunakan Berhias menjadi suatu hal yang maksiat bagi kita. Perjalanan adalah suatu hal yang mulia.Hal yang suka dilakukan oleh Rasulullah, dengan mempersiapkan segala aspek, baik waktu, tujuan, makanan, serta yang lainnya.
Bertamu dapat menyambung tali silaturahmi, baik kepada siapapun. Ketika kita bertamu, juga harus ingat aturan, karena kita bukan berada didalam rumah kita sendiri. Menerima tamu juga hal yang mulia. Menerima tamu hukumnya wajib, kita wajib menerima tamu apabila ia berada didalam rumah kita selama tiga hari. Apabila tamu itu menginap dirumah kita lebih dari tiga hari, maka menerima ia dirumah kita bukanlah wajib lagi. Kita berhak mengusir ia apabila mengganggu ketentraman didalam rumah. Dan menjadi sedekah apabila kita tetap melayani ia didalam rumah kita.

DAFTAR PUSTAKA
Roli A. Rahman dan M. Khamzah, Menjaga Akidah Akhlak Kelas X Madrasah Aliyah, Tiga Serangkai, Solo
LKS HIKMAH Akidah Akhlak Kelas X semester Ganjil
www.google.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar