PENDIDIKAN
ISLAM BAGI KAUM
WANITA
- PENDAHULUAN
Sebenarnya
islam tidak membedakan antara wanita dan laki-laki dalam pendidikan.
Islam
memberikan kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam
menuntut ilmu. Selain ditemui pengajaran bagi anak anak perempuan,
pengajaran bagi wanita juga ada. K.Hitti menandaskan bahwa anak anak
perempuan juga dibolehkan mengikuti sekolah dasar, Fayyaz Mahmud
menegaskan bahwa pada masa Dinasti Abbasiyah, anak perempuan juga
mempunyai kesempatan belajar dimaktab maktab. Akan tetapi tidak
banyak data yang menerangkan bahwa wanita pun belajar dilembaga
pendidikan tinggi.
Dalam
sistem pendidikan islam dimasa klasik, pendidikan islam bukanlah
diperuntukkan hanya laki laki saja. Wanita pun tidak dilarang
kemasjid untuk mengikuti pelajaran. Akan tetapi, apakah mereka mereka
dibolehkan berlibat langsung dengan murid laki laki. Memang dalam
kitab aghani. Sebagaimana dijelaskan oleh Syalabi, ditemukan teks
menerangkan adanya dua kasus yang meriwayatkan bahwa ada dua oarang
wanita yang telah mengikuti pelajaran pada sekolah dasar. Kedua
perempuan tersebut adalah seorang wanita hamba sahaya, bukan orang
merdeka. Oleh karena itu, Syalabi menolak bahwa pengajaran untuk
budak dapat dinilai sebagai pendidikan karena pengajaran untuk budak
hanyalah untuk menaikkan harga mereka dengan cara mengajar mereka
membaca dan menulis. Dengan demikian, riwayat tersebut tidak bisa
dipakai sebagai sejarah bahwa anak perempuan merdeka pernah mengikuti
pengajaran tingkat dasar dikuttab bersama murid laku-laki.
Perempuan
tidak memperoleh pelajaran terbuka dengan laki-laki akan tetapi
mereka memperoleh pelajaran dengan cara mendatangkan guru kerumah
mereka privat mereka.
Pengajaran
wanita menurut Munirudin Ahmad, ada indikasi yang menunjukkan bahwa
ada kelompok belajar wanita akan tetapi dilaksanakn dengan terpisah.
Misalnya
Ahmad bin Hanbal ang mengjarkan kelas wanita pada sore hari. Kelas
wanita biasanya dilaksanakan dirumah seorang ulama tertentu.
Sedangkan wanita yang tidak dari keluarga ulama mereka belajar kepada
ayah mereka atau mendatangkan guru pribadi.
Menurut
Jonathan Berkey, Alasan pemisahan pendidikan murid wanita dan murid
laki laki dalam pendidikan islam adalah karena kehadiran wanita
ditengah kaum laki laki dianggap tabu dan dikhawatirkan akan
menganggu konsentrasi belajar siswa laki-laki. Karena ancaman inilah,
Al-Din bin Jama’ah sebagaimana dikutip oleh Berkey, melarang wanita
belajar dimadrasa atau berada disuatu tempat dimana siswa biasanya
lewat atau melengok kehalaman sekolah melalui jendela
- PEMBAHASAN
- PENDIDIKAN WANITA PADA ZAMAN DAHULU
Para wanita Arab
sebelum datangnya Islam telah mempunyai hak dan kesempatan belajar
yang terkenal pada masa itu, maka di kalangan wanita telah terdapat
wanita-wanita tukang tenung dan penyai’r-penya’ir dan orang-orang
yang mempunyai pengetahuan dalam menulis. Di dalam buku-buku yang
berbahasa Arab disebutkan banyak sekali nama-nama wanita yang
terkenal pada masa jahiliyah dan masa permulaan Islam.
Pendidikan wanita
dalam Islam tidak terlepas pada sejarah awal penyebaran Islam di
masa Nabi Muhammad SAW, Islam mengajarkan persamaan status pria
dengan wanita dalam aspek-aspek spritual dan kewajiban keagamaan dan
yang membedakan adalahnya akhlak yang baik dan buruk. Sebagaimana di
contohkan pada masa Nabi masih hidup seorang wanita bangsawan dan
berketurunan tinggi dari kalangan Quraisy penah mencuri dan karenanya
ia dikenakan hukuman. Dan ada seseorang yang ingin membelanya.
Kemudia Nabi mengambil sikap, seraya berkata, “apakah engkau akan
membela seseorang dalam hukum yang telah ditentukan Tuhan ?”.
Selanjutnya beliau berpidato yang isinya menyebutkan. ”Wahai
manusia sesungguhnya orang-orang sebelum kamu menjadi sesat, karena
apabila seorang bangsawan mencuri, mereka membiarkannya, dan apabila
orang-orang lemah mencuri mereka menegakan hukum terhadapnya, Demi
Allah sekiranya Fathimah anaka Muhammad mencuri, Muhammad akan
memotong tangannya”.1
Kalau kita teliti
tentang kandungan matan hadits diatas, sangat jelas kedudukan wanita
dan pria sama kedudukannya dalam hukum. Demikian
pula dalam keagamaan, mereka akan mendapat pahala yang sama. Allah
menegaskan posisi wanita dalam Al Quran sebagai berikut :
“Dan
para wanita mendapat hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang makruk. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan
dari pada isterinya”
- PENDIDIKAN WANITA PADA MASA NABI SAW
Pada
zaman Nabi SAW, wanita mulai mendapatkan kedudukan yang terhormat dan
sederajat dengan kaum pria, karena sebelumnya pada zaman jahiliyah,
kaum wanita mendapatkan kedudukan yang sangat rendah dan hina, hingga
kelahiran seorang anak perempuan dalam keluarga dianggap suatu yang
aib dan harus membunuh anak itu semasa bayi.
Pada
masa ini, Nabi meyamakan kedudukan wanita dan pria dalam hal menuntut
ilmu sebagai manifestasi ayat ini diriwayatkan pula dari Nabi s.a.w
bahwa beliau menganjurkan agar istrinya diajarkan menulis, dan untuk
ini beliau berkata kepada Asy-Syifa’ (seorang penulis di masa
jahiliyah) tidak maukah Anda mengajar mantera kepada Hafsah
sebagaimana engkau telah mengajarkannya menulis.
- PENDIDIKAN WANITA PADA MASA SAHABAT
Pada
masa ini telah banyak bermunculan ahli ilmu agama dan pengetahuan,
seperti Sitti Hafsah isteri Nabi pandai menulis, dan ‘Aisyah
binti Sa’ad juga pandai menulis. Siiti Aisyah isteri Nabi pandai
membaca Al Quran dan tidak pandai menulis tetapi beliau adalah
seorang ahli fiqh yang terkenal sebagaimana diakui oleh ‘Urwah bin
Zuabair seorang ahli fiqh yang termasyhur dalam hal ini beliau
berkata : “belum pernah saya melihat seorang yanglebih ‘alim
dalam ilmu Fiqh, ilmu kedokteran dan ilmu syi’ir selain dari
‘Aisyah”.
Kemudian
adapula Ummu Salamah dapat membaca dan tidak pandai menulis,
Al-Khansa’ seorang penyair yang loyal, nasionalis dan pejuang.
Hindun binti ‘‘tabah, Laila binti Salma dan Sitti Sakinah binti
al-Husain, seorang ahli yang mahir dalam bidang sya’’r. Demikian
pula ‘Aisyah binti Talhah seorang yang ahli dalam kritik syi’ir.
Pada
masa kemelut politik pertentangan antara Khalihah Ali dengan
Mu’awwiyah, ada beberapa wanita yang terkenal ikut dalam kancah
politik, seprti Hindun binti ‘Idi bin Qais, ‘Akrasyah binti
al-Athrusy dll yang mereka itu membantu ‘Ali melawan Mu’awiyah.
Setelah itu Mu’awiyah tertarik menggunakan wanita dalam kancah
politik kerajaan, maka tersebutlah al-Khaizuran dan Syajaratud-Durr.
- PENDIDIKAN WANITA PADA MASA DINASTI ABASIYAH
Pada
masa ini, agama Islam telah tersebar luas, demikian juga kebudayaan
serta kemajuan pada masa Bani Abbas di bagian Timur dan Barat, telah
memunculkan para wanita yang ikut serta dalam kegiatan intelektual
dan kesenian, pengatahuan agama, sastera dan kesenian. Para budak
wanita mempunyai kesempatan yang besar untuk mempersiapkan diri dalam
bidang satera dan kesenian sehingga harga budak wanita menjadi lebih
tinggi sesuai dengan kecakapan yang dimilkinya. Wanita-wanita yang
terkenal dalam bidang pengetahuan dan syi‘ir antara lain, ‘Aliyah
binti al-Mahdi, Fadhlun, ‘Aisyah binti Ahmad bin Qadim
al-Qurthubiyah, Lubna, Walladah binti al-Khalifah al-Mustakfi Billah,
Qamar.
Sebagian
wanita adapula yang ahli dibidang ilmu agama dan hadits dan para
sarjana wanita Muslimah yang terkenal jujur dalam ilmu dan amanah
dalam riwayatnya. Seorang ahli hadits yang terbesar bernama Al-Hapiz
az-Zahabi dalam menyaring rijalul hadits yang telah mengeluarkan
hadits sebanyak 4000 perawi hadits dan dalam hal ini beliau berkata,
“saya tidak melihat dari kalangan wanita orang yang terkena tuduhan
dan tidak pula orang-orang yang mencoreng nama mereka (sebagai perawi
hadits yang terpercaya). Wanita-wanita yang terkenal dalam perawi
hadits adalah Karimah Al-Marwaziyah dan Sayyidah Al-Wuzara’.
Ibnu
Abi Ushaibi’ah menyebutkan dalam bukunya Thabaqatul Athibba’
tentang dua orang wanita yang bekerja sebagai dokter dan mereka
mengobati wanita-wanita istna Khalifah al-Mansur di ANdalus. Diantara
mereka andalah Zainab, seorang dokter mata yang terkenal dari Bani
Uwad.
Apabila
kita bandingkan kondisi pendidikan dan peranan wanita Islam abad
pertangahan dengan wanita yang ada di Eropa Kristen maka akan sangat
terlihat perbedaan yang mencolok, di Griek (Eropa) kecuali Sparta dan
Plato, saat itu wanita tidak diberikan persamaan hak dalam pendidikan
dan sosial sebagai mana yang diperoleh oleh laki-laki, mereka
menganggap wanita sebagai benda yang dapat menjamin kepuasan dan
kesenangan mereka, walaupun mereka mencapai peradaban yang tinggi dan
kemajuan dalam ilmu pengetahuan.2
- BEBERAPA PENDAPAT TENTANG PENDIDIKAN WANITA
Adalah kewajiban
bagi wanita untuk memperoleh pendidikan ilmu agama seperti shalat,
puasa, zakat, haji, sebagaimana kewajiban untuk berdagang dan
bertransaksi. Jika suaminya tidak mampu untuk memberikan padanya ilmu
tersebut, maka wanita tersebut menurut Islam wajib untuk mencarinya.
Shaikh Usman dan Fodio, seorang guru terkenal dari Nigeria mengatakan
dalam Irshad al-Ikhwan,”Jika sisuami tidak mengizinkannya, maka si
istri dibolehkan keluar mencari ilmu tanpa seizinnya, dan tidak ada
kesalahan baginya dan pula tidak dosa baginya karena itu. Peraturan
ini seharusnya mendorong para suami agar mendukung istrinya dalam
mencari ilmu, sewajib bagi suami untuk menafkahi keluarganya,
sesungguhnya ilmu adalah utama (dan wajib dipelihara dan
diamalkan)”.3
Akan
tetapi dalam praktek persamaan spiritual, tidak selalu disertakan
dengan persamaan dalam bidang intelektual di antara wanita dan pria.
Hal ini dapat kita lihat kadang-kadang dalam bidang pendidikan. Studi
tentang pendidikan bagi wanita dalam umat Islam memperlihatkan dua
pendapat yang berbeda yaitu yang menerima dan bahkan yang menolak.
- PENDAPAT YANG MENOLAK PENDIDIKAN WANITA
Para
ulama yang menolak pendidikan wanita , yaitu tidak boleh mengajar
wanita selain agama dan Al Quran, dan dilarang mengajarkan menulis.
Wanita yang diberi pelajaran menulis diserupakan dengan ular yang
menghirup racun. Pendukung pendapat ini mengambil dasar dari Ali bin
Abi Thalib yang menjumpai seorang pria yang sedang mengajarkan
menulis kepada seorang wanita, lalu beliau menegur, “jangan kamu
menambah kejahatan dengan kejahatan.” Selanjutnya pendukung
pendapat ini meriwayatkan bahwa ‘Umar bin Khattab melarang wanita
belajar menulis. Disamping itu mereka menisbahkan para wanita dengan
kekurangan dari segi akal dan agama, dan kekurangan ini merupakan
faktor yang menyebabkan tidak boleh mengajarkan pengetahuan kepada
para wanita.
- PENDAPAT YANG MEMPERBOLEHKAN PENDIDIKAN WANITA
Para
pendukung yang memberi pengajaran kepada wanita dengan menggunakan
dalil-dalil dari hadits Nabi yang menganjurkan untuk memberi
pengajaran kepada wanita, sebagian dari hadits tersebut ialah,
“menuntut ilmu diperlukan atas setiap muslim dan muslimah”.
“setiap orang yang memilki walidah (hamba) dan mengajarkannya serta
mendidiknya, kemudian ia memerdekakannya dan mengawininya, maka ia
akan mendapat dua buah pahala.”.4
Di
samping itu pendidikan wanita juga sangatlah penting. Hal ini di
karenakan wanita itu mempunyai nafsu yang sangat besar, oleh karena
dalam islam pendidikan wati sangat di tekankan agar wanita memepunyai
rasa malu yang besar sehingga dengan rasa malu tersebut ia akan
terjaga dari per buatan yang tidak di inginkan.5
Karena ialah
bahwa malu adalah akhlak (perangai) yang mendorong seseorang untuk
meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk dan tercela, sehingga
mampu menghalangi seseorang dari melakukan dosa dan maksiat serta
mencegah sikap melalaikan hak orang lain.6
Hal
ini sesuai dengan haditd rasulullah SAW yang
artinya : “Hendaklah
kalian malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar malu.
Barang-siapa yang malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan
sebenar-benar malu, maka hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada
padanya, hendaklah ia menjaga perut dan apa yang dikandungnya, dan
hendaklah ia selalu ingat kematian dan busuknya jasad. Barangsiapa
yang menginginkan kehidupan akhirat hendaklah ia meninggalkan
perhiasan dunia. Dan barangsiapa yang mengerjakan yang demikian, maka
sungguh ia telah malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar
malu”.
Jadi
rasa malu myang kuat juga sangat penting bagi kaum wanita demi
menjaga akhlaqnya sehingga dapat menjaga kesucian hati dan juga di
rinya sendiri dari hal-hal yang tidak baik, karena rasa malu itu
sendiri merupakan sebagian dari ke imanan. Islam memberikan hak
sebesar kewajiban yang dibebankan kepadanya. Pendapatnya dihargai
serta kelemahannya dilindungi, demikian uraian Sayyid Qutb, tokoh
ulama terkemuka Mesir. Untuk
meneguhkan kedudukan itu, tercantumlah surat an Nisaa (Wanita) dalam
Alquran. Surat ini khusus membahas segala hal serta aspek terkait
dengan kaum perempuan.
Pada intinya, kaum
perempuan dipandang sebagai bagian penting demi tegaknya agama. Maka,
tdak ada yang lebih diharapkan selain tampilnya sosok perempuan yang
shalehah dan sanggup menjaga kodrat maupun martabatnya dalam
kehidupan sehari-hari. Kaidah fikih Islam telah menggariskan beberapa
hal yang patut menjadi perhatian serta tuntunan dalam kaitan
tersebut. Mulai dari etika pergaulan, berperilaku, berhias diri dan
lainnya. Seperti dipaparkan Dr Abdul Qadir Manshur dalam Fiqh
al-Mar'ah al Muslimah, setidaknya ada lima hal menjadi penekanan.
Satu diantaranya yakni etika berada di luar rumah.
Bagi kaum perempuan,
dianjurkan untuk tidak mengenakan pakaian ketat sehingga
memperlihatkan lekuk tubuh. Juga hendaknya tidak berpakaian dengan
bahan kain tipis yang bisa menampakkan kulit tubuhnya. Rasulullah SAW
bersabda, bahwa dengan berpakaian ketat dan tampak kulit tubuhnya,
maka sama saja dengan tidak mengenakan pakaian. Yang semacam itu juga
dikhawatirkan bisa menimbulkan hal-hal tidak diinginkan. Pun
bagaimana berperilaku di muka umum. Dalam surat an Nur [24] ayat 31
disebutkan, ''Katakanlah kepada wanita yang beriman, ''Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak
daripadanya.''
Misalnya, bila
seorang perempuan bersama-sama dengan seorang lelaki yang bukan
muhrimnya di tempat sepi. Hal tersebut tentu tidak dibenarkan dan
hukumnya haram. Nabi SAW sangat tidak menyukai perbuatan ini.
Dalam salah satu hadis, beliau menyebutkan bahwa berduaan dengan
lelaki asing merupakan perbuatan maksiat. ''Tidaklah seorang
laki-laki berduaan dengan seorang perempuan kecuali setan menjadi
pihak ketiga di antara mereka.'' (HR Ahmad dan at-Tarmizi)
Sementara
itu, dua tokoh cendekiawan Muslim terkemuka, Syekh Dr Yusuf al
Qardhawi dan Syekh Muhammad al Ghazali menambahkan, ada etika yang
patut dijaga seorang perempuan bila bertemu dengan kaum laki-laki.
Antara
lain dapat menahan pandangannya, menutup seluruh tubuh kecuali wajah
dan kedua telapak tangan, tenang dan terhormat dalam gerak gerik,
serta serius dan sopan dalam berbicara. Pun dalam berhias diri
ada batasan-batasannya. Menurut Ibnu Abidin, selain harus menutup
aurat, maka syarat dibolehkannya seorang perempuan jika keluar rumah
yakni tidak mengenakan perhiasan secara berlebihan dan bersolek.
Karena keadaan
seperti itu bisa menyebabkan kaum laki-laki tertarik. Sehingga, dalam
Alquran surat al Ahzab [33] ayat 33, Allah SWT telah mengingatkan
agar kaum perempuan tidak meniru tingkah laku orang-orang jahiliah
zaman dahulu.
- PENUTUP/KESIMPULAN
Sebagai
kesimpulan makalah ini, Islam memberikan persamaan hak dan kewajiban
dalam menuntut ilmu bagi waita sebagaimana laki-laki, namun yang
menjadi perhatian khusus adalah tentang penekan pendidikan akhlaq.
Sebagai contoh Ibnu Urdun berpendapat bahwa anak-anak perempuan harus
mempelajari shalat dan agama serta menambahkan pelajaran-pelajaran
yang lain, akan tetapi ia tidak sepakat mengajarkan syi’ir dan
menulis kepada anak perempuan, serta ia tidak menyetujui memberikan
pendidikan anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki dalam
sebuah tempat, meskipun ada pendapat yang membolehkan belajar
bersama-sama antara anak perempuan dan anak laki-laki.
- DAFTAR PUSTAKA
Harun,
Nasution1975.
Pembaharuan
dalam Islam.
Bulan Bintang:
Jakarta
Fahmi,
Asma Hasan.
1979.
Dr,
Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam.
Bulan Bintang:
Jakarta
Zuhairini,
Dra dkk.
1992.
Sejarah
Pendidikan Islam.
Bumi Aksara:
Jakarta.
Soekarno
dan Ahmad Supard.
1983.
Sejarah
Dan Filsafat Pendidikan Islam.
Angkasa:
Bandung.
Asrohah,
Hanun.
1999.
Sejarah
Pendidikan Islam. PT.
Logos Wacana Ilmu:
Jakarta.
Iskandar, adad. Hadits, tasik malaya, 2012
1
Harun Nasution, Pembaharuan
dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1975), hal. 11
Asrohah,
Hanun, M.Ag, Sejarah
Pendidikan Islam. PT.
Logos Wacana Ilmu, Jakart.1999
5
Iskandar, adad. Hadits, tasik malaya, 2012
6
al-Haya' fî Dhau-il Qur-ânil Karîm wal Ahâdîts ash-Shahîhah
(hal. 9).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar