Senin, 07 Januari 2013

Emosi


A . HAKIKAT EMOSI
Pada hakikatnya,setiap orang mempunyai emosi. Dari bangun tidur pagi hari sampai waktu tidur malam hari, kita mengalami berbagai macam pengalaman yang menimbulkan berbagai emosi pula. Pada saat makan pagi bersama keluarga, misalnya, kita merasa gembira; atau dalam perjalanan menuju kantor atau kampus kita merasa jengkel karena macet, sehingga setelh tiba ditujuan kita merasa malu karena terlambat dan seterusnya. Semua itu merupakan emosi kita.
Menurut william James(dalam Wedge 1995), emosi adalah “kecenderungan untuk memiliki perasaan yang khas bila berhadapan dengan objek tertentu dalam lingkungannya.” Crow & Crow (1962) mengartikan emosi sebagai “suatu keadaan yang bergejolak pada diri individu yang berfungsi sebagai penyesuaian diri terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan individu”.
Dari definiisi tersebut, jelas bahwa emosi tidak selalu jelek. Emosi, meminjam ungkapan Djalaluddin Rakhmat (1994) “memberikan bumbu pada kehidupan, tanpa emosi, hidup ini kering dan gersang”.
Emosi ini dapat merupakan kecenderungan yang membuat kita frustasi, tetapi juga bisa menjadi modal untuk meraih kebahagiaan dan keberhasilan hidup. Semua itu bergantung pada emosi mana yang kita pilih dalam reaksi kita terhadap orang lain, kejadian-kejadian, dan situasi disekitar kita.
Berkaitan dengan itu, Colleman dan Hammen (1974, dalam Rakhmat, 1994) menyebutkan, setidaknya ada empat fungsi emosi: pertama, emosi adalah pembangkit energi (energizer). Kedua, emosi adalah pembawa informasi (messenger). Ketiga, emosi tidak hanya pembawa informasi dalam komunikasi intra personal,tetapi juga pembawa pesan dalam komunikasi interpersonal. Keempat, emosi juga merupakan sumber informasi tentang keberhasilan kita.



B. TEORI-TEORI EMOSI
1.      Teori Emosi Dua-Faktor Scachter-Singer
Teori emosi dua-faktor Schachter-Singer dkenal sebagai teoriyang paling klasik yang berorientasi pada rangsangan. Reaksi fisiologok dapat saja sama, namun jika rangsangannya menyenangkan, emosi yang timbul dinamakan senang. Sebaliknya, jika rangsangannya membahayakan, emosi yang timbul dinamakan takut. Para ahli psikologi melihat teori ini lebih sesuai dengan teori kognisi.
Menurut Berkowitz (1993), banyak pemikiran saat ini tentang peran atribusi dalam emosi mulai dengan sebuah teori kognitif yang sangat dikenal yang dipublikasikan oleh Stanley Schacter dan Jerome Singer pada tahun 1962. (konsepso Berkowitz tentang bagaimana pikiran tingkat tinggi menentukan pembentukan suasana emosional setelah munculnya reaksi awal, re;atif primitif dan emosional dipengaruhi oleh formulasi ini).
Menurut Scahter dan Singer, kita tidak merasa marah karena ketegangan otot kita, rahang kita berderak, denyut nadi menjadi cepat,  dan sebagainya, tetapi kita secara umum jengkel, dan kita mempunyai berbagai kognisi tertentu tentang sifat kejengkelan kita.
Teorinya begini, ketika seseorang menghadapi kejadian yang membangkitkan emosi, umumnya pertama-tama ia akan mengalami gangguan fisiologis netral dan tidak jelas.secara teoritis, yang terjadi kemudian apakah ia mengetahuimengapa ia jengkel dan bagaimana perasaannya jika ia tidak yakin mengenai emosi apa yang dirasakan, ia akemungkinan akan mencari jawabannya pada situasi yang mungkin membantunya memahami apa yang sedang dirasakan. Namun, jika sejak awal ia menyadari apa yang mengganggu pikirannya dan perasaan yang tengah dialaminya, ia tidak harus mencari informasi tantang apa yang sedang terjadi, karena ia sudah tahu. Bagaimanapun halnya, Schachter dan Singer, orang yang jengkel itu akanmembentuk keyakinan tentang apa yang dirasakannya, dan kognisi ini akan membentuk kejengkelan umum yang tidak jelas menjadi suasana emosional tertentu.


2.      Teori Emosi James-Lange
Dalam teori ini disebutkan bahwa emosi timul setelah terjadinya reaksi psikologik. Kita senang karen meloncat-loncat setelah melihat pengumuman dan kita takut karena kita lari setelah melihat ular.
William James (1884) dari Amerika Serikat dan Carl Lange (1885)dari Denmark, telah mengemukakan saat hampir bersamaan, suatu teori tentang emosiyang mirip satu sama lainnya, sehingga teori ini teori ini terkenal dengan nama teori James-Lange.
Menurut teori ini, emosi adalah hasil presepsiseseorang terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuh sebagai respon terhadap berbagai rangsangan dari luar. Jadi, misal ada seseorang melihat harimau, reaksinya adalah denyut jantung makin cepat, paru-paru lebh cepat memompa udara dan sebagainya. Respon-respon tubuh ini dipersepsikan dan timbullah rasa takut. Ini disebabkan oleh hasil pengalaman dan proses belajar.
Menurut kedua ahli ini, emosi terjdi karena adanya perubahan pada sistem vasomotor (otot-otot). Suatu peristaiwa dipersepsikan menimbulkan perubahan fisiologis dan perubahan psikologis yang disebut emosi. Dengan kata lain, seseorang bukan tertawa karena senang, melainkan ia senang karena tertawa.
Menurut pandapat James, bukan penilaian yang menyebabkan suaasana emosional, melainkan reaksi tubuh kita terhadap interpretasi ini.
3.      Teori “Emergency” Cannon
Teori emergency dikemukakan oleh Walter B. Cannon (1929), seorang fisiolog dari Harvard University. Cannon dalam teorinya menyatakan bahwa karena gejolak emosi itu menyiapkan seseorang siap untuk mengatasi keadaan.
Cannon menyalahkan teori James-Lange karna beberapa alasan, termasuk fokus ekslusif teori pada reaksi organ dalam. Cannon mengatakan, antara lain, bahwa organ dalam umumnya terlalu insensitif dan dalam responnya untuk bisa jadi dasar berkembangnya dan berubahnya suasana emosional yang sering kita berlangsung demikian cepat. Meski pun begitu, ia sebenarnya tidak beranggapan bahwa organ dalam merupakan satu-satunya faktor yang menentukan suasana emosional.
Teori ini menyebutkan, emosi (sebagai pengalaman subjektif psikologik) timbul bersama-sama dengan reaksi fisiologik.
Teori cannon selanjutnya diperkuat oleh Philip Bard, sehingga kemudian lebih dikenal dengan teori Cannon-Bard atau teori “emergency”. Teori ini mengatakan pula bahwa emosi adalah reaksi yang diberikan oleh orgnisme dalam situasi emergency. Teori ini didasarkan pada pendapat bahwa ada antagonisme (fungsi yang bertentangan) antara saraf-saraf simpatis dengan saraf otonom.
C. PERKEMBANGAN EMOSI
Para ahli psikolog sering menyebutkan bahwa dari semua aspek perkembangan, yang paling sukar untuk diklasifikasi adalah perkembangan emosional. Orang dewasa pun mendapat kesukaran dalam menyatakan perasaannya. Reaksi terhadap emosi pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh lingkungan, pengalaman, kebudayaan, dan sebagainya, sehingga mengukur emosi itu agaknya tidak mungkin.
Pada anak yangrelatif kecil, cara iamenyatakan emosinya mula-mula agak bersifat tidak menentu serta belum begitu jelas. Setelah bertambah umurnya, barulah ia memperlihatkan dengan cara-cara yang lebih jelas. Namun, semenjak permulaan masa kanak-kanak, ia telah mendapat tekanan untuk juga menutupi serta menyembunyikan segala pernyataan emosinya. Dari orang tuanya, kakak-kakaknya, dan juga dari orang-orang lain, ia selalu mendapat peringatan untuk bertindak secara tenang, tidak marah dan tidak merasa takut. Dalam kenyataannya, ia bahkan tidak saja diberi nasihat untuk tidak beremosi.
Sejak usia masih sangat muda, emosi anak telah didesakke bawah. Anak belajar menyembunyikan segenap perasaannya, atau menutupinya, atau menyatakan dengan cara yang tidak mencerminkan keadaan perasaan yang sebenarnya. Begitu pula, banyak anak yang karena ajaran-ajaran dari orang lain, lalu beranggapan bahwa merupakan suatu hal yang tidakbisa dibenarkan untuk mempunyai perasaan-perasaan yang mendalam. Akan tetapi, mereka tidak bisa membebaskan dirinya sendiri dari kecenderungan dasar untukmerasa takut, marah, sedih dan malu.
Akibatnya, kebanyakan anak semenjak mereka masih sangat muda, telah mengalami semacam pertentangan dalam dirinya, suatu perjuangan yang timbul dari kenyataan bahwa mereka tidak dapat mengelakkan diri dari perasaan marah, namun mereka tidak boleh memperlihatkan rasa marah atau membiarkan diri merasa marah. Mereka selalu mendapat tekanan untuk membohongi perasaan sendiri dan mereka akan selalu melakukan hal ini setiap kali mengalami perasaan dongkol terhadap orang lain yang lebih tua daripada dirinya. Namun, karena tekanan-tekanan memperlihatkannya, sebagai gantinya, misalnya ia membanting botol dijalan besar, seolah-olah perbuatan semacam ini dapat “menimbulkan kesenangan” padanya, kemudian ia juga merasakan adanya ketakuta terhadap ejekan atau pembetulan dari gurunya, apabila ia, dikelas tidak bisa menjawab suatu pertanyaan dengan pasti, ia lebih suka membisu, menolak untuk setiap perintah untuk menjawab pertanyaan tadi, ia lebih suka disebut sbagai anak yang keras kepala atau bodoh ketimbang menghadapi kenyataan sebagai anak yang sedang mengalami rasa takut. Demikian pula anak-anak selalu mendapat tekanan untuk menyembunyikan emosi mereka terhadap diri mereka sendiri, untuk membohongi diri mereka sendiri.
Menurut Jersild (1954), perkembangan emosi selama masa kanak-kanak terjalin sangat eratnya dengan aspek-spek perkembangan yang lain. Setelah alat-alat indera anak menjadi lebih tajam, kecakapan anak untuk mengenal perbedaan-perbedaan dan untuk melakukan pengamatan pun menjadi lebih dewasa, dan setelah ia lebih melangkah kedepan dalam segala aspek perkembangannya, jumlah peristiwa yang bisa membangkitkan emosinya pun kian bertambah besar.
D. GANGGUAN EMOSIONAL
Sekarang ini banyak muncul untuk mencoba menjelaskan sebab-musabab gangguan emosional. Teori-teori tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga kateori; lingkungan, afektif dan kognitif.
1.      Teori Lingkungan
Teori lingkungan ini membawa bahwa penyakit mental diakibatkan oleh berbagai kejadian yang menyebabkan timbulnya stres. Pandangan tersebut beranggapan bahwa kejadian ini sendiri adalah penyebab langsung dari dari ketegangan emosi. Orang wam tidak ragu menyatakan, bahwa seorang nangis karena diperolok. Ia percaya secara harfiah bahwa olok-olok itu adalah penyebab langsung tangisan tersebut.
Tampaknya, taak ada perbedaan yang jelas dalam pikiran orang awam tersebut antara dipengaruhi kejadian lingkungan yang bersifat fisik dan kejadian lingkungan yang bersifat psikologis. Menurut nalar mereka, bila pisau yang tajam bisa menyebabkan nyeri fisik, kata-kata yang tajam bisa menyebabkan nyeri psikologis (emosional).
Menurut pandangan ini, tekanan emosional baru bisa dihilangkan kalau masalah “penyebab” ketegangan tersebut ditiadakan. Selama masalah itu masih ada, biasanya tidak banyak yang bisa dilakukan untuk menghilangkan perasaan-perasaan yang menyertainya. Karena yang disebut lebih dulu diduga sebagai penyebab dari yang belakangan, secara logis bisa dikatakan bahwa penghilangan masalah selalu dapat menghilangkan kesukaran. Memang, demikianlah sering terjadi, tetapi ini belum tentu dapat menghilangkan reaksi emosional yang kuat sekali jika reaksi itu terjadi.
Menurut Bertand Russell, lingkungan emosional yang tepat bagi seorang anak merupakan suatu hal yang sulit, dan tentu saja bervarisi menurut usia anak. Sepanjang masa kanak-kanak, ada kebutuhan untuk merasa aman, meskipun kian berkurang. Untuk maksud ini, kata Russell, kebaikan hati dan suatu rutinitas yang menyenangkan merupakan hal pokok. Hubungan dengan orang-orang dewasa hendaknya merupakan hubungan bermain dan ketenteraman fisik, bukan berupa belaian emosional. Menurut Russell, hendaknya ada keintiman dengan anak-anak lain diatas seglanya, hendaknya ada peluang bagi inisiatif dalam konstruksi, dalam eksplorasi, dan ke arah intelektual serta seni.
2.      Teori Afektif
Pandangan profesional yang paling luas dianut mengenai gangguan mental adalah pandangan yang berusaha menemukan pengalaman emosional bawah sadar yang dialami seorang anak bermasalah dan kemudian membawa ingatan yang dilupakan dan ditakuti ini ke alam sadar, sehingga dapat dilihat dari sudut yang lebih realistik. Sebelum rasa takut dan rasa salah tersebut disadari, anak-anak itu diperkirakan hidup dengan pikiran bawah sadar yang dipenuhi dengan bahan-bahan yang menghancurkan yang tidak bisa dilihat, tetapi masih sangat aktif dan hidup.
Menurut pandangan ini, bukan lingkungan yang menimbulkan gangguan, tetapi persasaan bawah sadar si anak (atau secara teknis dikatakan afeksi). Kelepasan hanya bisa dicapai bila perasaa tersebut dimaklumi dan dihidupkan kembali dengan seseorang yang tidak akan menghukum anak tersebut atas keinginan-keinginannya yang berbahaya.
Seorang ahli psikoterapi yang baik hati akan mendorong anak tersebut untuk mengutarakan perasaan pribadinya atau memerankannya dalam terapi bermaian. Dibawah dorongannya si anak akan mengungkapkan emosinya yang wajar dan terlarang sehingga semua akan terlihat dan si anak berhadapan dengan keinginannya yang tidak disadarinya. Si ahli terapi akan menerima dengan hati-hati dan menyayangi anak tersebut walaupun keburukan tersebut sudah jelas terpapar. Ketika anak tersebut melihat bahwa ia tidak akan dilukai karena mempunyai dorongan-dorongan tersebut, ia akan merasa rileks sehingga merasa mendapat kelepasan emosional. Ini tentunya merupakan penjelasan yang singkat dan tidak lengkap mengenai terapi afektif.
3.      Teori Kognitif
Sekarang ini, hanya satu teori kognitif utama yang patut dibicarakan, yakni “Psikoterapi Rasional-Emotif” yang ditemukan oleh Albert Ellis (1962). Menurut teori ini, penderitaan mental tidak disebabkan langsung oleh masalah kita atau perasaan bawah sadar kita akan masalah tersebut, melainkan dari pendapat yang salah dan irasional, yang disadari maupun tidak disadari akan masalah-masalah yang kita hadapi.
Untuk mengembalikan keseimbangan emosi, kita hanya perlu mengidentifikasi ide-ide yang ada pada si anak, kemudian melalui penggunakan logika yang ketat, ia diperlihatkan dan diyakinkan betapa tidak rasionalnya ide-ide tersebut, dan akhirnyadia didorong untuk berperilaku berlainan melalui sudut pengetahuan yang baru. Hanya inilah yang diperlukan untuk menenangkan gangguan emosional.
Menurut Hauck (1967), perbaikan emosional mencakup tiga langkah. Pertama, kita harus memperlihatkan anggapan-anggapan yang salah. Kedua, menunjukkan lewat nalar bahwa bukan perilakunya. Ketiga, menasihati agar bersikap lebih manis dan dapat bekerja sama.
E. MACAM-MACAM EMOSI
Dari hasil penelitiannya, John B. Watson (dalam Mahmud, 1990) menemukan bahwa respons emosional pada anak-anak ada tiga, yaitu takut marah dan cinta.
1.      Takut
Pada dasarnya, rasa takut itu bermacam-macam. Ada yang timbul karena seorang anak kecil memang ditakut-takuti atau karena berlakunya berbagai pantangan di rumah. Akan tetapi, ada juga rasa takut “naluriyah” yang terpendam dalam hati sanubari setiap insan. Ketakutan relatif lebih banyak diderita oleh anak-anak daripada orang dewasa dikarenakan daya tahan anak-anak belum kuat.


Sobur, Alex. 2011. Psikologi umum. Pustaka Setia.Bandung






Tidak ada komentar:

Posting Komentar