A . HAKIKAT EMOSI
Pada
hakikatnya,setiap orang mempunyai emosi. Dari bangun tidur pagi hari sampai
waktu tidur malam hari, kita mengalami berbagai macam pengalaman yang
menimbulkan berbagai emosi pula. Pada saat makan pagi bersama keluarga,
misalnya, kita merasa gembira; atau dalam perjalanan menuju kantor atau kampus
kita merasa jengkel karena macet, sehingga setelh tiba ditujuan kita merasa
malu karena terlambat dan seterusnya. Semua itu merupakan emosi kita.
Menurut
william James(dalam Wedge 1995), emosi adalah “kecenderungan untuk memiliki
perasaan yang khas bila berhadapan dengan objek tertentu dalam lingkungannya.”
Crow & Crow (1962) mengartikan emosi sebagai “suatu keadaan yang bergejolak
pada diri individu yang berfungsi sebagai penyesuaian diri terhadap lingkungan
untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan individu”.
Dari
definiisi tersebut, jelas bahwa emosi tidak selalu jelek. Emosi, meminjam
ungkapan Djalaluddin Rakhmat (1994) “memberikan bumbu pada kehidupan, tanpa
emosi, hidup ini kering dan gersang”.
Emosi
ini dapat merupakan kecenderungan yang membuat kita frustasi, tetapi juga bisa
menjadi modal untuk meraih kebahagiaan dan keberhasilan hidup. Semua itu
bergantung pada emosi mana yang kita pilih dalam reaksi kita terhadap orang
lain, kejadian-kejadian, dan situasi disekitar kita.
Berkaitan
dengan itu, Colleman dan Hammen (1974, dalam Rakhmat, 1994) menyebutkan,
setidaknya ada empat fungsi emosi: pertama, emosi adalah pembangkit energi
(energizer). Kedua, emosi adalah pembawa informasi (messenger). Ketiga, emosi
tidak hanya pembawa informasi dalam komunikasi intra personal,tetapi juga
pembawa pesan dalam komunikasi interpersonal. Keempat, emosi juga merupakan
sumber informasi tentang keberhasilan kita.
B.
TEORI-TEORI EMOSI
1.
Teori
Emosi Dua-Faktor Scachter-Singer
Teori
emosi dua-faktor Schachter-Singer dkenal sebagai teoriyang paling klasik yang
berorientasi pada rangsangan. Reaksi fisiologok dapat saja sama, namun jika
rangsangannya menyenangkan, emosi yang timbul dinamakan senang. Sebaliknya,
jika rangsangannya membahayakan, emosi yang timbul dinamakan takut. Para ahli
psikologi melihat teori ini lebih sesuai dengan teori kognisi.
Menurut
Berkowitz (1993), banyak pemikiran saat ini tentang peran atribusi dalam emosi
mulai dengan sebuah teori kognitif yang sangat dikenal yang dipublikasikan oleh
Stanley Schacter dan Jerome Singer pada tahun 1962. (konsepso Berkowitz tentang
bagaimana pikiran tingkat tinggi menentukan pembentukan suasana emosional
setelah munculnya reaksi awal, re;atif primitif dan emosional dipengaruhi oleh
formulasi ini).
Menurut
Scahter dan Singer, kita tidak merasa marah karena ketegangan otot kita, rahang
kita berderak, denyut nadi menjadi cepat,
dan sebagainya, tetapi kita secara umum jengkel, dan kita mempunyai
berbagai kognisi tertentu tentang sifat kejengkelan kita.
Teorinya
begini, ketika seseorang menghadapi kejadian yang membangkitkan emosi, umumnya
pertama-tama ia akan mengalami gangguan fisiologis netral dan tidak
jelas.secara teoritis, yang terjadi kemudian apakah ia mengetahuimengapa ia
jengkel dan bagaimana perasaannya jika ia tidak yakin mengenai emosi apa yang
dirasakan, ia akemungkinan akan mencari jawabannya pada situasi yang mungkin
membantunya memahami apa yang sedang dirasakan. Namun, jika sejak awal ia
menyadari apa yang mengganggu pikirannya dan perasaan yang tengah dialaminya,
ia tidak harus mencari informasi tantang apa yang sedang terjadi, karena ia
sudah tahu. Bagaimanapun halnya, Schachter dan Singer, orang yang jengkel itu
akanmembentuk keyakinan tentang apa yang dirasakannya, dan kognisi ini akan
membentuk kejengkelan umum yang tidak jelas menjadi suasana emosional tertentu.
2.
Teori
Emosi James-Lange
Dalam
teori ini disebutkan bahwa emosi timul setelah terjadinya reaksi psikologik.
Kita senang karen meloncat-loncat setelah melihat pengumuman dan kita takut
karena kita lari setelah melihat ular.
William
James (1884) dari Amerika Serikat dan Carl Lange (1885)dari Denmark, telah
mengemukakan saat hampir bersamaan, suatu teori tentang emosiyang mirip satu
sama lainnya, sehingga teori ini teori ini terkenal dengan nama teori
James-Lange.
Menurut
teori ini, emosi adalah hasil presepsiseseorang terhadap perubahan-perubahan
yang terjadi pada tubuh sebagai respon terhadap berbagai rangsangan dari luar.
Jadi, misal ada seseorang melihat harimau, reaksinya adalah denyut jantung
makin cepat, paru-paru lebh cepat memompa udara dan sebagainya. Respon-respon
tubuh ini dipersepsikan dan timbullah rasa takut. Ini disebabkan oleh hasil
pengalaman dan proses belajar.
Menurut
kedua ahli ini, emosi terjdi karena adanya perubahan pada sistem vasomotor (otot-otot).
Suatu peristaiwa dipersepsikan menimbulkan perubahan fisiologis dan perubahan
psikologis yang disebut emosi. Dengan kata lain, seseorang bukan tertawa karena
senang, melainkan ia senang karena tertawa.
Menurut
pandapat James, bukan penilaian yang menyebabkan suaasana emosional, melainkan
reaksi tubuh kita terhadap interpretasi ini.
3.
Teori
“Emergency” Cannon
Teori
emergency dikemukakan oleh Walter B. Cannon (1929), seorang fisiolog dari
Harvard University. Cannon dalam teorinya menyatakan bahwa karena gejolak emosi
itu menyiapkan seseorang siap untuk mengatasi keadaan.
Cannon
menyalahkan teori James-Lange karna beberapa alasan, termasuk fokus ekslusif
teori pada reaksi organ dalam. Cannon mengatakan, antara lain, bahwa organ
dalam umumnya terlalu insensitif dan dalam responnya untuk bisa jadi dasar
berkembangnya dan berubahnya suasana emosional yang sering kita berlangsung
demikian cepat. Meski pun begitu, ia sebenarnya tidak beranggapan bahwa organ
dalam merupakan satu-satunya faktor yang menentukan suasana emosional.
Teori
ini menyebutkan, emosi (sebagai pengalaman subjektif psikologik) timbul
bersama-sama dengan reaksi fisiologik.
Teori
cannon selanjutnya diperkuat oleh Philip Bard, sehingga kemudian lebih dikenal
dengan teori Cannon-Bard atau teori “emergency”. Teori ini mengatakan pula
bahwa emosi adalah reaksi yang diberikan oleh orgnisme dalam situasi emergency.
Teori ini didasarkan pada pendapat bahwa ada antagonisme (fungsi yang
bertentangan) antara saraf-saraf simpatis dengan saraf otonom.
C. PERKEMBANGAN EMOSI
Para
ahli psikolog sering menyebutkan bahwa dari semua aspek perkembangan, yang
paling sukar untuk diklasifikasi adalah perkembangan emosional. Orang dewasa
pun mendapat kesukaran dalam menyatakan perasaannya. Reaksi terhadap emosi pada
dasarnya sangat dipengaruhi oleh lingkungan, pengalaman, kebudayaan, dan
sebagainya, sehingga mengukur emosi itu agaknya tidak mungkin.
Pada
anak yangrelatif kecil, cara iamenyatakan emosinya mula-mula agak bersifat
tidak menentu serta belum begitu jelas. Setelah bertambah umurnya, barulah ia
memperlihatkan dengan cara-cara yang lebih jelas. Namun, semenjak permulaan
masa kanak-kanak, ia telah mendapat tekanan untuk juga menutupi serta
menyembunyikan segala pernyataan emosinya. Dari orang tuanya, kakak-kakaknya,
dan juga dari orang-orang lain, ia selalu mendapat peringatan untuk bertindak
secara tenang, tidak marah dan tidak merasa takut. Dalam kenyataannya, ia
bahkan tidak saja diberi nasihat untuk tidak beremosi.
Sejak
usia masih sangat muda, emosi anak telah didesakke bawah. Anak belajar
menyembunyikan segenap perasaannya, atau menutupinya, atau menyatakan dengan
cara yang tidak mencerminkan keadaan perasaan yang sebenarnya. Begitu pula,
banyak anak yang karena ajaran-ajaran dari orang lain, lalu beranggapan bahwa
merupakan suatu hal yang tidakbisa dibenarkan untuk mempunyai perasaan-perasaan
yang mendalam. Akan tetapi, mereka tidak bisa membebaskan dirinya sendiri dari
kecenderungan dasar untukmerasa takut, marah, sedih dan malu.
Akibatnya,
kebanyakan anak semenjak mereka masih sangat muda, telah mengalami semacam
pertentangan dalam dirinya, suatu perjuangan yang timbul dari kenyataan bahwa
mereka tidak dapat mengelakkan diri dari perasaan marah, namun mereka tidak
boleh memperlihatkan rasa marah atau membiarkan diri merasa marah. Mereka
selalu mendapat tekanan untuk membohongi perasaan sendiri dan mereka akan
selalu melakukan hal ini setiap kali mengalami perasaan dongkol terhadap orang
lain yang lebih tua daripada dirinya. Namun, karena tekanan-tekanan memperlihatkannya,
sebagai gantinya, misalnya ia membanting botol dijalan besar, seolah-olah
perbuatan semacam ini dapat “menimbulkan kesenangan” padanya, kemudian ia juga
merasakan adanya ketakuta terhadap ejekan atau pembetulan dari gurunya, apabila
ia, dikelas tidak bisa menjawab suatu pertanyaan dengan pasti, ia lebih suka
membisu, menolak untuk setiap perintah untuk menjawab pertanyaan tadi, ia lebih
suka disebut sbagai anak yang keras kepala atau bodoh ketimbang menghadapi
kenyataan sebagai anak yang sedang mengalami rasa takut. Demikian pula
anak-anak selalu mendapat tekanan untuk menyembunyikan emosi mereka terhadap
diri mereka sendiri, untuk membohongi diri mereka sendiri.
Menurut
Jersild (1954), perkembangan emosi selama masa kanak-kanak terjalin sangat
eratnya dengan aspek-spek perkembangan yang lain. Setelah alat-alat indera anak
menjadi lebih tajam, kecakapan anak untuk mengenal perbedaan-perbedaan dan
untuk melakukan pengamatan pun menjadi lebih dewasa, dan setelah ia lebih
melangkah kedepan dalam segala aspek perkembangannya, jumlah peristiwa yang
bisa membangkitkan emosinya pun kian bertambah besar.
D. GANGGUAN EMOSIONAL
Sekarang
ini banyak muncul untuk mencoba menjelaskan sebab-musabab gangguan emosional.
Teori-teori tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga kateori; lingkungan,
afektif dan kognitif.
1.
Teori
Lingkungan
Teori
lingkungan ini membawa bahwa penyakit mental diakibatkan oleh berbagai kejadian
yang menyebabkan timbulnya stres. Pandangan tersebut beranggapan bahwa kejadian
ini sendiri adalah penyebab langsung dari dari ketegangan emosi. Orang wam
tidak ragu menyatakan, bahwa seorang nangis karena diperolok. Ia percaya secara
harfiah bahwa olok-olok itu adalah penyebab langsung tangisan tersebut.
Tampaknya,
taak ada perbedaan yang jelas dalam pikiran orang awam tersebut antara
dipengaruhi kejadian lingkungan yang bersifat fisik dan kejadian lingkungan
yang bersifat psikologis. Menurut nalar mereka, bila pisau yang tajam bisa
menyebabkan nyeri fisik, kata-kata yang tajam bisa menyebabkan nyeri psikologis
(emosional).
Menurut
pandangan ini, tekanan emosional baru bisa dihilangkan kalau masalah “penyebab”
ketegangan tersebut ditiadakan. Selama masalah itu masih ada, biasanya tidak
banyak yang bisa dilakukan untuk menghilangkan perasaan-perasaan yang
menyertainya. Karena yang disebut lebih dulu diduga sebagai penyebab dari yang
belakangan, secara logis bisa dikatakan bahwa penghilangan masalah selalu dapat
menghilangkan kesukaran. Memang, demikianlah sering terjadi, tetapi ini belum
tentu dapat menghilangkan reaksi emosional yang kuat sekali jika reaksi itu
terjadi.
Menurut
Bertand Russell, lingkungan emosional yang tepat bagi seorang anak merupakan
suatu hal yang sulit, dan tentu saja bervarisi menurut usia anak. Sepanjang
masa kanak-kanak, ada kebutuhan untuk merasa aman, meskipun kian berkurang.
Untuk maksud ini, kata Russell, kebaikan hati dan suatu rutinitas yang
menyenangkan merupakan hal pokok. Hubungan dengan orang-orang dewasa hendaknya
merupakan hubungan bermain dan ketenteraman fisik, bukan berupa belaian emosional.
Menurut Russell, hendaknya ada keintiman dengan anak-anak lain diatas seglanya,
hendaknya ada peluang bagi inisiatif dalam konstruksi, dalam eksplorasi, dan ke
arah intelektual serta seni.
2.
Teori
Afektif
Pandangan
profesional yang paling luas dianut mengenai gangguan mental adalah pandangan
yang berusaha menemukan pengalaman emosional bawah sadar yang dialami seorang
anak bermasalah dan kemudian membawa ingatan yang dilupakan dan ditakuti ini ke
alam sadar, sehingga dapat dilihat dari sudut yang lebih realistik. Sebelum
rasa takut dan rasa salah tersebut disadari, anak-anak itu diperkirakan hidup
dengan pikiran bawah sadar yang dipenuhi dengan bahan-bahan yang menghancurkan
yang tidak bisa dilihat, tetapi masih sangat aktif dan hidup.
Menurut
pandangan ini, bukan lingkungan yang menimbulkan gangguan, tetapi persasaan
bawah sadar si anak (atau secara teknis dikatakan afeksi). Kelepasan hanya bisa
dicapai bila perasaa tersebut dimaklumi dan dihidupkan kembali dengan seseorang
yang tidak akan menghukum anak tersebut atas keinginan-keinginannya yang
berbahaya.
Seorang
ahli psikoterapi yang baik hati akan mendorong anak tersebut untuk mengutarakan
perasaan pribadinya atau memerankannya dalam terapi bermaian. Dibawah
dorongannya si anak akan mengungkapkan emosinya yang wajar dan terlarang
sehingga semua akan terlihat dan si anak berhadapan dengan keinginannya yang
tidak disadarinya. Si ahli terapi akan menerima dengan hati-hati dan menyayangi
anak tersebut walaupun keburukan tersebut sudah jelas terpapar. Ketika anak
tersebut melihat bahwa ia tidak akan dilukai karena mempunyai dorongan-dorongan
tersebut, ia akan merasa rileks sehingga merasa mendapat kelepasan emosional. Ini
tentunya merupakan penjelasan yang singkat dan tidak lengkap mengenai terapi
afektif.
3.
Teori
Kognitif
Sekarang
ini, hanya satu teori kognitif utama yang patut dibicarakan, yakni “Psikoterapi
Rasional-Emotif” yang ditemukan oleh Albert Ellis (1962). Menurut teori ini,
penderitaan mental tidak disebabkan langsung oleh masalah kita atau perasaan bawah
sadar kita akan masalah tersebut, melainkan dari pendapat yang salah dan
irasional, yang disadari maupun tidak disadari akan masalah-masalah yang kita
hadapi.
Untuk
mengembalikan keseimbangan emosi, kita hanya perlu mengidentifikasi ide-ide
yang ada pada si anak, kemudian melalui penggunakan logika yang ketat, ia
diperlihatkan dan diyakinkan betapa tidak rasionalnya ide-ide tersebut, dan
akhirnyadia didorong untuk berperilaku berlainan melalui sudut pengetahuan yang
baru. Hanya inilah yang diperlukan untuk menenangkan gangguan emosional.
Menurut
Hauck (1967), perbaikan emosional mencakup tiga langkah. Pertama, kita harus
memperlihatkan anggapan-anggapan yang salah. Kedua, menunjukkan lewat nalar
bahwa bukan perilakunya. Ketiga, menasihati agar bersikap lebih manis dan dapat
bekerja sama.
E. MACAM-MACAM EMOSI
Dari
hasil penelitiannya, John B. Watson (dalam Mahmud, 1990) menemukan bahwa
respons emosional pada anak-anak ada tiga, yaitu takut marah dan cinta.
1.
Takut
Pada
dasarnya, rasa takut itu bermacam-macam. Ada yang timbul karena seorang anak
kecil memang ditakut-takuti atau karena berlakunya berbagai pantangan di rumah.
Akan tetapi, ada juga rasa takut “naluriyah” yang terpendam dalam hati sanubari
setiap insan. Ketakutan relatif lebih banyak diderita oleh anak-anak daripada
orang dewasa dikarenakan daya tahan anak-anak belum kuat.
Sobur, Alex. 2011. Psikologi umum.
Pustaka Setia.Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar