BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Abul kalam Azad
Maulana Abul Kalam Azad dilahirkan di Makkah, pada
tanggal 11 November 1888. Orang tua Abul Kalam Azad adalah seorang ulama
dan pemimpin yang pindah ke Makkah setelah gagalnya pemberontakan tahun 1857.
Didikan pertama diperolehnya di Makkah dan didikan selanjutnya di Al-Azhar
Kairo. Setelah orang tuanya meninggal ia pergi ke India dan menetap di sana
untuk selama-lamanya.[1]
Akan tetapi ada pendapat lain yang mengatakan, bahwa sepuluh tahun sejak
keberadaannya di Makkah, Khairuddin yang tidak lain adalah ayah Abul Kalam
Azad, kembali ke Calcuta India bersama seluruh keluarganya dan menetap disana.
Dari proses pendidikan yang dilaluinya di
perguruan-perguruan di Makkah dan Kairo-Mesir, Abul Kalam Azad hanya memperoleh
pengetahuan bahasa Arab dan Agama. Setelah di India, ia menambah pengetahuannya
tentang bahasa Inggris dan ilmu-ilmu pengetahuan modern barat dengan usaha
sendiri. Sejak kecil Abul Kalam Azad bercita-cita menjadi pengarang dan
politikus. Ia tidak ingin menjadi ulama seperti Ayahnya.[2]
Meskipun ada yang mencatat bahwa ketika di Mesir Abul Kalam Azad akrab dengan
ide-ide reformis Syeikh Muhammad Abduh dan ide Nasionalisme dan anti
Imperialisme Mustafa Kamal.
Dalam usia masih muda, pada tahun 1912 Maulana
Abul Kalam Azad membuat suatu majalah di calcuta yang bernama Al-Hilal.
Padamulanya sirkulasi majalah itu berjumlah sebelas ribu tetapi kemudian
meningkat menjadi 25.000. Di majalah inilah ia keluarkan ide-idenya mengenai
Agama yang pada waktu itu mengejutkan bagi golongan Ulama. Al-Hilal juga
mengandung ide-ide politik dan karena serangan dan kritiknya yang tajam
terhadap pemerintah Inggris, majalah itu akhirnya dilarang terbit.[3]
Dalam meniti karier politik, sejak muda ia
telah menggabungkan diri dengan partai Kongres. Aktivitasnya dalam lapangan
politik menyebabkan ia beberapa kali ditangkap dan dipenjarakan. Pada tahun
1923, dalam usia 35 tahun, ia dipilih sebagai presiden partai Kongres. 17 tahun
kemudian, pada tahun 1940, ia dipilih untuk kedua kalinya menjadi presiden.
Selama hidupnya ia selalu memegang jabatan penting di Partai Kongres, dan
setelah India merdeka, ia pernah menjadi menteri pendidikan India.
Dari semenjak muda ia telah memasuki lapangan
politik dan menggabungkan diri dengan partai Kongres. Aktivitasnya dalam
lapangan politik membuat ia beberapa kali ditangkap dan dipenjarakan. di tahun
1923, dalam usia 35 tahun, ia dipilih menjadi presiden partai Kongres. 17 tahun
kemudian, pada tahun 1940, ia dipilih untuk kedua kalinya menjadi presiden.
Selama hidupnya ia selalu memegang jabatan penting di partai Kongres, dan
setelah India merdeka ia pernah menjadi menteri pendidikan India. Abul Kalam
Azad meninggal dunia di New Delhi pada 22 Februari tahun 1958.[4]
B.
Pembaharuan pemikiran Abul Kalam Azad dan
Nasionalisme India
Peranan Abul Kalam Azad dalam lapangan
pemikiran pembaharuan dalam Islam kurang menonjol jika dibandingkan dengan
kegiatannya dalam bidang politik. Banyak penulis menyebutkan bahwa di masa
mudanya dia adalah seorang Pan-Islamis dan kemudian berubah menjadi Nasionalis
India. Ketika masih muda, Abul Kalam Azad sangat berpengaruh terhadap golongan
Intelegensia Islam India. Namun setelah Abul Kalam Azad berubah menjadi
Nasionalis India, ia dianggap kurang menarik lagi bagi golongan Intelegensia
Islam India tersebut.
Pemikirannya dalam bidang agama tidak seliberal
pemikiran Akhmad Khan. Sebagai murid Sibli, pembaharuannya terlihat bersifat
moderat. Tujuannya seperti tersebut dalam Al-Hilal ialah melepaskan umat Islam
dari pemikiran-pemikiran abad pertengahan dan taklid. Ia menganjurkan
kembali kepada Al-Qur’an. Dan untuk keperluan ini ia terjemahkan Al-Qur’an
kedalam bahasa urdu dengan diberi tafsiran. Al-Qur’an harus dipahami
sebagaimana adanya, terlepas pengaruh dari pemikiran ahli hukum, sufi, teolog,
filosof, dan sebagainya.[5]
Menurut Abul Kalam Azad, kemunduran umat Islam
disebabkan oleh dogmatisme dan sikap taklid, juga karena umat Islam tidak
seluruhnya menjalankan ajaran-ajaran Islam secara utuh dan komprehensif.
Kebangkitan umat Islam menurut Azad dapat diwujudkan dengan melepaskan
paham-paham asing, juga dengan melaksanakan ajaran Islam dalam segala bidang
kehidupan umat Islam. Juga tidak lupa menurut azad kekuatan umat Islam akan
timbul kembali dengan memperkuat tali persaudaraan dan persatuan umat Islam di
seluruh dunia. Dalam hal ini Abul Kalam Azad sangat kagum kepada Jamaludin
Al-Afghani.
Ditengah penjajahan Inggris di India, muncul
para tokoh yang berjuang untuk kemerdekaan India. Diantaranya adalah munculnya
sejumlah pemikir muslim yang memperjuangkan kemajuan umat Islam melalui
pemurnian, pembaharuan pemikiran dan berbagai gagasan untuk melepaskan diri
dari belenggu penjajahan. Dari sejumlah pemikir yang ada, Abul Kalam Azad
adalah salah satunya. Keinginan agar India merdeka, Abul Kalam Azad akhirnya
menjadi seorang Nasionalis. Menurut Abul Kalam, antara Islam dan Nasionalisme
tidak ada pertentangan. Oleh karena itu ia menentang keras gerakan Aligarh yang
menggaungkan anti Nasionalisme. Tapi ia juga mengkritisi pendidikan modern yang
dibawa sayyid Akhmad Khan yang hanya menghasilkan orang-orang berjiwa pegawai
dan tunduk serta patuh pada Inggris.
Menurut Abul Kalam Azad, rasa takut umat Islam
terhadap mayoritas Hindu tidak mempunyai dasar. Karena menurutnya, jika umat
Islam masih tetap ingin hidup dan tinggal di India, maka ia harus menjadikan
umat Hindu sebagai tetangga dan saudara yang saling berdampingan. Tetapi jika
umat Islam tetap khawatir jika India merdeka, mereka tidak aman dari
orang-orang Hindu, maka pilihannya adalah ia tetap berada dibawah jajahan
Inggris. Sedangkan Azad berpendapat Islam tidak membolehkan untuk mengorbankan
kemerdekaan.[6]
Perjuangan Abul Kalam Azad untuk kemerdekaan
India tidak main-main, sejarah India mencatat ia sebagai orang penting dalam
usaha membebaskan India dari penjajah Inggris. Dia juga dianggap sebagai tokoh
pembangunan India modern yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk membebaskan
India. Banyak yang menganggap ia sebagai seorang yang tercerahkan, terpelajar,
sederhana, rendah hati dan pemimpin yang senantiasa memberikan ketauladanan
untuk orang lain. Sehingga banyak yang menuliskan tentang Abul Kalam Azad dalam
enam decade terakhir.
Perjuangannya untuk kemerdekaan India ia
Iakukan dengan kendaraan politiknya yaitu partai Kongress. Pasca meninggalnya
tokoh partai Kongress MA. Ansari pada 1936, Abul Kalam Azad menjadi tokoh
muslim paling berpengaruh di partai tersebut. Sehingga pada tahun 1939 akhirnya
Azad terpilih sebagai presiden partai Kongress. Meski sempat mengalami
pembuangan oleh penguasa Inggris karena Abul Kalam Azad dianggap akan
membahayakan kedudukan mereka di India, tapi Azad tetap memimpin partai Kongress
hingga tahun 1946.
Menyusul kemerdekaan India, Abul Kalam Azad
akhirnya menjabat sebagai menteri pendidikan selama sepuluh tahun. Walau bukan
seorang administrator yang efektif, tetapi selama masa jabatannya sempat
membuat beberapa kebijakan penting seperti mengadakan pendidikan teknis bagi
perempuan dan orang dewasa, pendirian akademi sastra, menolak membuang bahasa Inggris
sebagai bahasa Nasional.
Pernyataan Abul Kalam Azad yang menunjukkan
jati dirinya sebagai Muslim Nasionalis. "Saya seorang Muslim
dan sangat sadar akan fakta bahwa saya telah mewarisi tradisi mulia Islam dari
empat belas ratus tahun terakhir, dan saya tidak siap
untuk lepaskan
meskipun sebagian kecil dari warisan
itu. Sejarah dan ajaran Islam, seni dan surat-surat, budaya dan peradaban
adalah bagian dari kekayaan yang saya miliki, dan itu adalah tugas saya untuk menghargai dan menjaga itu semua. Tapi, dengan semua perasaan ini, saya memiliki keinginan yang sama dalam, lahir dari pengalaman hidup yang diperkuat, dan tidak terhalang oleh ruh Islam. Saya juga bangga
dengan fakta bahwa saya seorang India, merupakan bagian penting dari kesatuan tak terpisahkan dari kebangsaan India. Ini merupakan faktor penting
dalam merubah total, tanpa adanya ini bangunan tetap tidak akan lengkap.
Jika seluruh dunia adalah
negara kita dan harus dihormati, debu India memiliki tempat pertama. Jika semua umat manusia adalah saudara kita, maka India memiliki tempat
pertama.
Tidak hanya kebebasan
nasional, kita mustahil tanpa persatuan Hindu-Muslim, kita juga tidak dapat membuat
tanpa itu, prinsip-prinsip utama dari umat manusia. Jika malaikat mengatakan kepada saya " Buang persatuan
Hindu-Muslim dan dalam waktu 24 jam saya akan memberikan kebebasan ke India”.
Saya lebih suka persatuan
Hindu-Muslim. Untuk keterlambatan dalam pencapaian kebebasan akan menjadi
kerugian bagi India saja, tetapi jika persatuan Hindu-Muslim menghilang, yang
akan menjadi kerugian bagi seluruh umat manusia.
Itu takdir sejarah India
bahwa ras-ras manusia, budaya, dan agama harus mengalir padanya, dan bahwa
banyak kafilah harus menemukan beristirahat di sini. Salah satu yang terakhir ini adalah bahwa karavan-karavan para pengikut
Islam. Ini datang ke sini dan menetap untuk kebaikan Di India menanggung segala
cap upaya bersama dari Hindu dan Muslim. Bahasa kami berbeda, tapi kami tumbuh
untuk menggunakan bahasa yang umum sikap kami dan adat-istiadat yang berbeda,
tetapi mereka menghasilkan sintesis baru. Tidak ada fantasi atau buatan licik
untuk memisahkan dan memecah belah kita dapat mematahkan kesatuan ini.
C.
Biografi Abul A’la Al Maududi
Abul A’la al Maududi dilahirkan pada tanggal 3
Rajab 1321 bertepatan dengan 25 September 1903 di Aurangabad, suatu kota
terkenal di daerah yang sekarang dikenal sebagai Andra Pradesh, India. Ia
dilahirkan dari keluarga yang terhormat, dan nenek moyangnya dari segi ayah
keturunan Nabi Muhammad saw. Inilah sebabnya ia memakai nama Sayyid.[7]
Keluarga al Maududi adalah keturunan langsung dari Khawajah Maunuddin Ajmeri.[8]
Ayah al Maududi, adalah Ahmad hasan yang
dilahirkan pada 1855 M, ia seorang ahli fiqih yang sangat shlmeh, disamping
seorang pengacara, ia juga seorang pengikut tasawuf yang pernah belajar di
Aligarh. al Maududi adalah anak terakhir dari tiga bersaudara. Ia memperoleh
pendidikan dasarnya di bawah bimbingan ayahnya sendiri. Setelah berusia 11
tahun, ia masuk ke Faqaniyat di Aurangabad sebuah sekolah menengah agama yang
memadukan antara system pendidikan modern dan system pendidikan tradisional.
Setamat dari sekolah ini, ia melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi Dar al
‘Ulum di Hiderabat. al Maududi terpaksa harus meninggalkan sekolah ini pada
uisa 16 tahun, karena kematian ayahnya. Keadaan ini mendorong bekerja di salah
satu penerbit Islam di Delhi. Sementara pada waktu kosong, ia belahar secara
otodidak membaca buku-buku sastra Arab, tafsir, mantik dan filsafat, ditopang oleh
kemampuan bahasanya yaitu : Arab, Inggris, Persia dan Urdu (bahsa Ibu).[9]
Sejak mudanya al Maududi telah mempunyai
kecenderungan kuat pada bidang jurnalistik, pernah menjadi editor beberapa
massa. Dalam usia 17 tahun, ia menjadi pemimpin harian Taj di Jabalpur (India).
Kemudian menjadi pemimpin al Jami’ah salah satu harian Islam yang paling
berpengaruh dan populer di New Delhi (1920 an). Minatnya pada politik tumbuh
pada usia sekitar 20 tahun, dan buah tangannya yang pertamadalam masalah ini
adalah al Jihaad fi al Islam (Jihad dalam Islam), salah satu buku yang cermat
dan tajam dalam menganalisis hukum Islam, perang dan damai.
Pemikiran al Maududi, tidak saja berpengaruh
dan bergema di kawasan sub kontinen Indo-Pakistan. melainkan di seluruh dunia
Islam. Karya-karyanya banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, di samping
ia pernah berkeliling dunia untuk memberikan kuliah di berbagai ibu kota
negara-negara timur tengah, London, New York, Toronto dan sejumlah pusat studi
di kota-kota besar lainnya. Ia pernah juga malakukan studi tour ke beberapa
tempat seperti Jordan, Jerussalem, Suriah, Mesir dan Saudi Arabia, untuk
mempelajari aspek-aspek geografi dan historinya.
Akhirnya pada tahun 1953, al Maududi dijatuhi
hukuman mati oleh pemerintah Pakistan karena tuduhan “subversif” yang berkaitan
dengan masalah sekte Ahmadiyah Qadani. Akan tetapi, al Maududi bukannya minta
naik banding atau memohon pengampunan pada penguasa pada waktu itu. Dengan
semangat gembira ia memilih kematian dari pada meminta pengampunan kepada
mereka yang memang ingin menggantungnya. Keteguhan al Maududi ini, justru
menggoncangkan pemerintah dan di bawah tekanan-tekanan dari dalam dan luar
negeri, pemerintah Pakistan mengubah hukuman mati itu menjadi hukuman seumur
hidup.[10]
D.
Pembaharuan Abul A’la Al Maududi
Pembaharuan yang ditekankan oleh al Maududi,
pada prinsipnya dilandaskan pada visinya terhadap Islam yang berpangkal pada
doktrin “tauhid”. Doktrin inilah yang menjadi risalah para Nabi dan Rasul Allah
untuk mengajarkan tauhid (keesaan Tuhan, The Unity of Godhead) kepada seluruh
umat manusia dan sepanjang masa.
Doktrin tauhid terpatri dengan tepat dalam
kalimat ”tiada Tuhan melainkan Allah” suatu pernyataan yang tampaknya hanya
mengakui dengan kukuh tentang keesaan sang pencipta. Dalam pandangan al
Maududi, mempunyai implikasi yang lebih jauh dari pada apa yang ditujukan oleh
keterangan itu sepintas lalu. Menurut beliau, ”syahadat” itu bukan hanya
menerangkan tentang keesaan Tuhan sebagai pencipta atau bahkan sebagai
satu-satunya sasaran penyembahan, tetapi ia juga menerangkan tentang tidak
adanya sesuatu yang menyerupai Tuhan sebagai yang Maha Kuasa, sebagai Maha
Pengatur.[11]
Dengan demikian, seorang yang bertauhid akan
loyal, tunduk secara loyal kepada Allah. Kemudian “syahadat” merupakan
deklarasi moral, suatu ajakan kepada manusia menanggapinya dengan keseluruhan
dirinya untuk beramal dan berbakti kepada-Nya, dan keadaan inilah yang disebut
muslim, karena ketundukannya secara total kepada hukum alam yang telah
ditetapkan Tuhan. Manusia sebagai makhluk Tuhan diberi kebebasan untuk tunduk
atau tidak mematuhi hukum-hukum yang ditetapkannya. Hanya mereka yang patuh
saja disebut muslim.
Kebutuhan manusia untuk mengetahui hukum-hukum
Tuhan, terpenuhi dengan adanya misi keNabian. Dari al Qur’an dan sunnah dapat
diketahui aturan-aturan hidup yang mencakup semua aspek kehidupan manusia. al
Maududi menolak adanya anggapan bahwa Islam hanyalah seperangkat doktrin
tentang metafisika dan ritual belaka. Akan tetapi, ia menegaskan bahwa Islam adalah
“Way of Life”, karena Islam mempunyai ajaran yang konprehensif dan mencakup
semua aspek kehidupan manusia dalam bermasyarakat dan bernegara.[12]
Selanjutnya untuk mendukung pernyataan di atas,
al Maududi menginterprestasikan kembali ayat-ayat al Qur’an dan hadits untuk
menjawab tantangan zaman. Dalam hlm ini, ijtihad sangat diperlukan untuk menemukan
konsep-konsep kehidupan sosial politik Islam dari kedua sumber ajaran tersebut
di atas.
Konsep-konsep al Maududi yang ditujukan bagi
masyarakat abad ke-20, mencakup problem modernitas, menganalisis hubungan Islam
dan nasionalisme, demokrasi, kapitalisme, marxisme, perbankan modern,
pendidikan, hukum, kaum perempuan, pekerjaan, zionisme dan hubungan
internasional. Dengan demikian, pemikiran al Maududi secara luas dan sistematis
berusaha menunjukkan relevansi komprehensif Islam dalam semua aspek kehidupan.
Dalam perspektif kita tentang teori politik
modern atau teori politik sekuler, teori politik Islam seperti yang
dikembangkan oleh al Maududi kelihatan menarik, bahkan ”ganjil”. Keunikan atau
keganjilan teori politik al Maududi terletak pada konsep dasar yang menegaskan
bahwa kedaulatan (souverenitas) ada di tangan Tuhan, bukan di tangan manusia.
Oleh karena itu, teori politik al Maududi berbeda dengan teori demokrasi dari
Barat pada umumnya yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Ia
melihat dalam kenyatan yang tampak dari praktek demokrasi Barat adalah
kegagalan menciptakan keadaan sosio-ekonomi, sosio-politik serta keadilan
hukum.
Hak-hak politik rakyat hanya terbatas sampai
formalitas empat atau lima tahun sekali, dan dalam prakteknya, yang memperoleh
perlindungan hukum hanya mereka yang berasal dari lapisan atas. Sedangkan bagi
rakyat kebanyakan, hukum hanya merupakan slogan kosong tanpa dirahasiakan dalam
kehidupan sehari-hari.
Kedaan seperi di atas, jelas bertentangan
dengan prinsip Islam. Bahwa setiap manusia adalah khalifah Allah dan
masing-masing memikul tanggung jawab yang sama dalam jabatan kekhalifahan.
Dengan demikian, status atau kedudukan setiap manusia adalah sederajat dalam
masyarakat. Seseorang yang terpilih menjadi penguasa, kemudian ia berkuasa
secara mutlak dan semena-mena, berarti ia telah merampas hak-hak orang lain
sebagai khalifah Allah, dan tindakan ini jelas bertentangan dengan prinsip
Islam.
Penolakan al Maududi terhadap kedaulatan
rakyat, tidak hanya berdasarkan adanya bukti praktek Demokrasi yang sering
menyeleweng, tetapi terutama berdasarkan pemahamannya tentang ayat-ayat al
Qur’an, yang menunjukkan beberapa prinsip Negara Islam. Prinsip-prinsip yang
dimaksud adalah :
a.
Otoritas dan kedaulatan tertinggi berada pada
Tuhan
b.
Tuhan saja yang berhak memberikan hukum bagi
manusia. Manusia tidak berhak menciptakan hukum serta menentukan apa yang halal
dan apa yang haram. Jadi, hukum di sini berarti norma-norma dasar.
c.
Pemerintahan yang menjalankan aturan-aturan
dasar dari Tuhan wajib ditaati oleh rakyat, karena pada dasarnya
pemerintah bertindak sebagai badan politik yang memperlakukan hukum-hukum
Tuhan.
Konsep kenegaraan Islam al Maududi,
muncul karena keinginannya menjadikan Pakistan sebagai sebuah Negara yang
betul-betul Islam. Konsepsi kenegaraan ini, yang didasarkan pada
prinsip-prinsip di atas dijabarkan sebagai berikut :
a.
Sistem kenegaraan Islam bukan demokrasi, karena
dalam system ini, kedaulatan (kekuasaan) negara secara mutlak di tangan rakyat.
Sistem kenagaraan Islam adalah “Theo demokrasi”, karena system ini mengakui
bahwa kedaulatan rakyat itu dibatasi oleh hukum-hukum Tuhan dari al Qur’an dan
sunnah. Manusia sebagai khalifah-Nya di bumi ini.
b.
Pemerintah atau badan eksekutif, hanya dibentuk
oleh umat Islam. Persoalan kenegaraan yang tidak diatur di dalam nash yang
jelas, dipecahkan melalui kesepakatan umat Islam. Untuk mengetahui penjelasan
dari al Qur’an dan sunnah diperlukan ijtihad dari orang yang mencapai tingkat
mujtahid. Sedangkan hukum-hukum yang diambil dari nash-nash yang jelas, tidak
seorang pun boleh mengubahnya. Seperti hukum riba, waris dan lain-lain.
c.
Kekuasaan negara, dilakukan oleh tiga lembaga
yaitu : legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dengan ketentuan debagai berikut :
1)
Kepala negara atau pemerintah, merupakan
pemimpin tertinggi negara yang bertanggung jawab kepada Allah dan kepada
rakyat. Ia harus selalu berkonsultasi dengan majelis syura yang mendapat
kepercayaan umat.
2)
Keputusan pada majelis syura, pada umumnya
diambil atas dasar suara terbanyak.
3)
Jabatan kepala negara dan jabatan-jabatan lain
yang penting tidak boleh diduduki oleh orang yang ambisius
4)
Anggota majelis syura, tidak dibenarkan terbagi
ke dalam kelompok-kelompok atau partai-partai. Masing-masing harus menyampaikan
pendapatnya secara perorangan.
5)
badan yudikatif atau lembaga peradilan berada
di luar lembaga eksekutif, hakim bertugas melaksanakan hukum-hukum Allah atas
hambanya, bukan mewakili kepala negara, tetapi mewakili Allah.
d.
Keanggotaan majelis syura terdiri dari warga
negara yang beragama Islam, laki-laki dewasa, shaleh, mampu menafsirkan dan
menerapkan syariah, serta menyusun undang-undang yang tidak bertentangan dengan
al Qur’an dan sunnah Nabi. Selanjutnya tugas majelis syura sebagai berikut :
1)
Merumuskan dalam peraturan perundang-undangan,
petunjuk-petunjuk yang ditemukan secara jelas dalam al Qur’an dan hadits, serta
peraturan pelaksanaannya.
2)
Jika terdapat perbedaan penafsiran terhadap
ayat al Qur’an atau hadits, maka harus dapat memutuskan mana yang lebih tepat
untuk ditetapkan.
3)
Jika terdapat petunjuk yang jelas, maka
penentuan hukum dilakukan dengan memperhatikan petunjuk umum dari al Qur’an.
e.
Dalam negara Islam, terdapat dua kategori
kewarganegaraan ; warga negara muslim dan non muslim (dzimmi). Yang disebutkan
terakhir ini mendapatkan perlindungan dari negara, hak serta kewajiban
tertentu, seperti hak untuk beribadah menurut ajaran agamanya. Dalam masalah
keagamaan, mereka dibina oleh pemimpin-pemimpin agama mereka. Sedangkan dalam
bidang-bidang kehidupan yang lain, mereka tunduk kepada hukum Islam sebagai hukum
mayoritas.
Dengan demikian, negara Islam adalah negara
yang berdasarkan syari’ah atau agama. Dan hanya mereka yang menerima ideology
islam yang berhak mengatur negara. Jadi, inilah yang menjadi salah satu
perbedaan yang mendasar antara nasional dan negara Islam. Negara nasional,
mendasarkan keanggotaan warganya pada kesamaan bangsa, ras, atau etnik yang
sederhana. Negara nasional mengutamakan serta mendahulukan bangsanya sendiri
daripada bangsa-bangsa lain. hal ini berpeluang menimbulkan ketegangan dan
permusuhan di antara mereka. Sedangkan kewarganegaraan Islam didasarkan atas
ideology atau agama, mereka yang menerima prinsip-prinsip Islam tidak
dibeda-bedakan, baik perbedaan kebangsaan, ras, kelas maupun negaranya.[13]
DAFTAR PUSTAKA
Nasution.
Harun. Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang,
2003.
Syaukani,
Ahmad. Perkembangan Pemikiran Modern di Dunia Islam. Bandung: Pustaka
Setia, 2001.
Al
Baqir, Muhammad, Khalifah dan
Kerajaan, Bandung : Mizan, 1993
Ali, Mukti A, Alam Pikiran Islam Modern,
India dan Pakistan, Bandung : Mizan,
1993
Abdurrahman, Ancaman Islam ; Mitos atau Realitas ?,
Bandung : Mizan, 1994
Malik, Dedi Djamaluddin, Biografi Abul A’la al Maududi, Bandung
: Risalah, 1984
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara,
Ajaran, sejarah dan Pemikiran, Jakarta : UI Press, 1993
Al-Maududi, Nasionalisme
dan Islam, dalam John J. Dodohue dan John L. Esposito , Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 1995
[1] Harun
Nasution. 2003. Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta:
Bulan Bintang. Hal. 194
[2] Drs,
Ahmad Syaukani, MA. 2001. Perkembangan Pemikiran Modern di Dunia Islam.
Bandung: Pustaka Setia. Hal.96
[3] Harun
Nasutin. Loc.Cit. Hal.194
[4] Drs.
Ahmad Syaukani, MA. Loc.Cit. Hal.96
[5] Harun
Nasution. Loc.Cit. Hal.195
[7] Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern ;
di India dan Pakistan, (Bandung : Mizan, 1993), Hal. 238
[8] Dedi Djamaluddin Malik, Biografi Abul A’la al Maududi; (Bandung: Risalah, 1984), hlm: 3
[9] Lihat A. Mukti Ali, loc cit, bandingkan pula
dengan Munawir Sjadzali, Islam dan tata Negara, Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran, (Jakarta : UI Press, 1993) Hal. 158-159
[11] Mukti Ali, Op cit, Hal: 244
[12] Abdurrahman, Ancaman Islam, Mitos atau
Realitas, (Bandung : Mizan, 1994), Hal: 136
[13] al Maududi, Nasionalisme dan Islam,
dalam John J. Donohue dan John L. Eposito, (Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 1995) hlm. 160-164
Tidak ada komentar:
Posting Komentar