Senin, 07 Januari 2013

Dhoman, Hajru, sulhu, iqrar dan ariyah

BAB II PEMBAHASAN A. DHAMAN 1. Pengertian Dhaman atau Kafalah Al-dhaman menurut bahasa berarti Al-Kafalah (jaminan), hamalah (beban), dan za’amah (tanggungan). Sedangkan menurut istilah yang dimaksud dengan al-kafalah atau al-dhaman sebagaimana dijelaskan oleh para ulama adalah sebagai berikut: Menurut mazhab syafi’i bahwa Al-Kafalah atau Dhaman ialah akad yang menetapkan iltizam hak yang tetap pada tanggungan (beban) yang lain atau menghadirkan zat benda yang dibebankan atau menghadirkan badan oleh orang yang berhak menghadirkannya. Al-kafalah atau Al-dhaman menurut para ulama adalah menggabungkan dua beban (tanggungan) dalam permintaan hutang. Dari sumber lain dijelaskan Al-kafalah atau Dhaman merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain, kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin. 2. Dasar hukum Dhaman atau Kafalah Kafalah disyaratkan Allah SWT, terbukti dengan firman-Nya:          •  Artinya: “Ya'qub berkata: "Aku sekali-kali tidak akan melepaskannya (pergi) bersama-sama kamu, sebelum kamu memberikan kepadaku janji yang teguh atas nama Allah, bahwa kamu pasti akan membawanya kembali kepadaku ... (Yusuf: 66) Dalam ayat lain Allah SWT berfirman:              Artinya: “...dan siapa yang dapat mengembalikan piala raja, maka ia akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan Aku menjamin terhadapnya". (Yusuf: 72) Dalam sebuah riwayat juga dijelaskan, “Bahwa Nabi SAW. Pernah menjamin sepuluh dinar dari seseorang laki-laki yang oleh penagih ditetapkan untuk menagih sampai sebulan, maka hutang sejumlah itu dibayar kepada penagih” (HR.Ibnu Majah). 3. Syarat dan rukun Dhaman atau Kafalah Menurut mazhab Hanafi bahwa rukun kafalah adalah satu, yaitu ijab dan qabul (al-Jaziri,1969:226). Sedangkan menurut para ulama yang lain bahwa rukun dan syarat kafalah adalah sebagai berikut: a. Dhamin, Kafil atau Zaim, yaitu orang yang menjamin, dimana ia disyaratkan sudah baligh, berakal, tidak dicegah membelanjakan hartanya (mahjur) dan dilakukan dengan kehendaknya sendiri. b. Madmun lah, yaitu orang yang berpiutang, syaratnya ialah bahwa yang berpiutang diketahui oleh orang yang menjamin. c. Madmun ‘anhu atau makful ‘anhu adalah orang yang berutang. d. Madmun bih atau makful bih adalah utang, barang atau orang, disyaratkan pada makful bih dapat diketahui dan tetap keadaannya, baik sudah tetap maupun akan tetap. e. Lafadz, disyaratkan keadaan lafadz itu berarti menjamin, tidak digantungkan kepada sesuatu dan tidak berarti sementara. 4. Macam-macam Dhaman atau Kafalah Secara garis besar, kafalah dapat dibedakan menjadi al-kafalah bil mal dan al-kafalah bin nafs. Al-kafalah bil mal merupakan jaminan pembayaran barang atau pelunasan hutang. Sedangkan al-kafalah bin nafs merupakan akad pemberian jaminan atas diri. Sebagai contoh dalam praktik perbankan, seseorang nasabah mendapat pembiayaan dengan jaminan reputasi dan nama baik seseorang tokoh masyarakat. 5. Pelaksanaan Dhaman atau Kafalah Kafalah dapat dilaksanakan dengan dua bentuk, yaitu a. Munjaz (tanjiz) ialah tanggungan yang ditunaikan seketika, seperti seorang yang berkata: “saya tanggung si fulan dan saya jamin si fulan sekarang”. b. Mu’allaq (ta’liq) adalah menjamin sesuatu dengan kaitan pada suatu dengan kaitan pada sesuatu, seperti berkata : “jika kamu mengutangkan pada anakku maka aku akan membayarnya, atau “jika kamu tagih pada A maka aku akan membayarnya”. 6. Pembayaran dhamin Apabila orang yang menjamin (dhamin) memenuhi kewajibannya dengan membayar utang orang yang ia jamin, ia boleh meminta kembali kepada madmun ‘anhu apabila pembayaran itu atas izinnya, dalam hal ini para ulama bersepakat, namun mereka berbeda pendapat apabila penjamin membayar atau menunaikkan beban orang yang ia jamin tanpa izin orang yang dijamin bebannya, menurut As-Syafi’i dengan Abu-Hanifah bahwa membayar utang orang yang dijamin tanpa ijin darinya adalah sunnah, dhamin tidak punya hak untuk minta ganti rugi kepada orang yang ia jamin (madmun ‘anhu), menurut majhab maliki bahwa dhamin berhak menagih kembali kepada madmun ‘anhu. B. HAJRU 1. Pengertian Hajru Hajru menurut bahasa berarti membatasi atau menghalangi atau mencegah. Menurut istilah adalah membatasi atau melarang seseorang untuk membelanjakan hartanya. 2. Hukum Hajru Wali atau hakim memiliki kewajiban baginya untuk melarang orang yang terkena hajru membelanjakan hartanya, hal didsasarkan pada al-Qur’an:                •  “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum Sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan Pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (QS, An-Nisa :5) 3. Tujuan Larangan Larangan terhadap seseorang adalah untuk menjaga hak orang lain, yang meliputi: • Larangan terhadap orang yang berutang kalau diperhitungkan utangnya lebih besar dari pada hartanya • Orang yang sakit parah. Dia dilarang memberikan melebihi 1/3 hartanya guna menjaga hak ahli warisnya kalau dia samapai meninggal. • Orang yang menggadaikan hartanya atau orang yang menjadikan sebagai jaminan, dilarang menjualnya • Murtad (orang yang keluar dari Islam) dilarang membelanjkan hartanya guna menjaga hak orang muslim. Larangan karena menjaga haknya sendiri meliputi : • Anak kecil hendaknya dijaga jangan sampai membelanjkan hartanya sampai dewasa • Orang gila dilarang membelanjkan hartanya sampai sembuh • Pemboros dilarang membelanjakan hartanya sampai ia sadar/tidak boros. 4. Sebab-Sebab Dilakukan Hajru Maksud disyari’atkannya hajru dalam agama Islam adalah untuk menjaga kemaslahatan bagi orang yang terkena hajru. Sebab-sebab hajru antara lain Karena bangrut/pailit utangnya lebih besar dari harta yang dimilikinya. Karena bodoh/dungu, sehingga perlu dibatasi dalam membelanjakan hartanya. Karena belum sempurna akalnya (anak kecil, orang gila). 5. Rukun dan Syarat Hajru Rukun hajru adalah : o Wali atau hakim baik laki-laki atau perempuan. o Orang yang terkena hajru yaitu orang yang dilarang untuk membelanjakan hartanya Syarat-syarat Hajru adalah : o Orang yang berhak/berwenang melakukan hajru/larangan hendaknya orang yang kuat agamanya, tinggi rasa dan tinggi tingkat kecerdasannya o Orang yang dilarang membelanjakan hartanya meliputi : Orang yang belum sempurna/lemah akalnya (anak kecil, orang gila, idiot). Anak dianggap : a. Baligh bila padanya sudah ada salah satu sifat berikut telah sampai umur 15 tahun, telah keluar mani, telah keluar darah haid. b. Orang yang jatuh pailit/bangrut yang utangnya lebih besar dari pada harta miliknya 6. Hikmah Hajru Agama mensyariatkan hajru terhadap orang-orang yang lemah akalnya untuk membelanjakan hartanya dengan maksud untuk kemaslahatan mereka. Hajru mengandung hikmah bagi mereka yang terkena larangan, antara lain : • Terciptanya kelanggengan hidup mereka pada masa-masa mendatang • Terjaminnya hak bagi seseorang yang memberikan hutang karena ia tidak dirugikan/tidak dihilangkan haknya • Terjaminnya hak kaum muslimin dari perbuatan orang yang kurang bertanggung jawab. C. SULHU 1. Definisi sulhu Sulhu menurut bahasa artinya damai. Sedangakan menurut istilah adalah perjanjian perdamaian antar pihak yang berselisih. Perdamaian antar beberapa Negara(perjanjian bilateral-multilatelral) dengan tanpa persengketaan sebelumnya. 2. Dasar Hukum Shulhu hukumnya sunnah hal ini di dasarkan pada firnman Allah SWT : Artinya :” Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil” (QS.Al Hujurat :9) Didalam hadist Rasululah SAW menjelaskan : والصلح جائز بين المسلمين الا صلحا احل حراما او حرم حلا لا (رواه ابن حبان و الترمذى ) Artinya: “Perdamaian itu boleh di antara kaum muslimin kecuali pedamaian menghalalkan barang haram atau menghalalkan barang haram.(HR. Ibnu Hibban danTirmidzi) Berdasarakan ayat dan hadits tersebut, maka dapat di simpulkan bahwa hukum shulhu adalah sunnah dan jaiz. Karena perdamaian akan mengantarkan kehidupan yang harmonis, tolong menolong,aman dan tenteram. 3. Rukun sulhu • Orang /pihak yang bersengketa dan menyepakati perdamaian • Orang / pihak yang mendamaikankan (muslih) • Masalah yang didamaikan( musalih anhu) • Akad perdamaian ijab Kabul 4. Syarat Sulhu 1. Kedua belah pihak sama sah bertindak dalam hukum 2. Tidak ada unsur paksaan keduanya 3. Masalah yang di damaikan tidak bertentangan dengab syariat 4. Perdamaian tersebut tidak bisa dicapai tanpa bantuan pihak ketiga sesuai dengan firman Allah SWT : Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya maka kirimlah seorang hakim (pendamai) dari keluarga laki dan seorang hakim dari pihak perempuan, jika kedua orang hakim bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istrimu. Sesungugguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal (QS. An Nisa’ : 35). 5. Macam-macam sulhu Shulhu dapat di mengerti dalam berbagai sudut panadang yang digunakan untuk mendalami shulhu. Bila disinggung dari masalah persengketaan shuhlu di bagi menjadi : 1. Shulhu iqrar. Yaitu persengketaan yang jelas persoalannya dan pihak yang terlibat mengakui adanya perselisihan tersebut misalnya persengkataan pemilik lahan dengan masyarakat. 2. Shulhu inkar, yaitu persengketaan yang belum jelas persoalannya karena pihak yang terlibat tidak mengakui atau mengingkari masalah tersebut. 3. Shulhu sukut, yaitu perselisihan antar pihak yang menggugat terhadap orang yang digugat, dan pihak yang tergugat hanya menanggapinya dengan diam. Tidak mengakui atau meningkari yang ditudu kan. Bila ditinjau dari segi pihak/pelaku yang terlibat dalam perdamaian maka shulhu dibedakan menjadi: 1. Perdamaian sesama muslim (perang shiffin antara Ali dan Muawiyah) 2. Perdamaian antara muslim dan non muslim (kerusuhan agama di Maluku) 3. Perdamaian antara pimpinan (imam) dengan pemberontak (bughot) misalnya GAM. 4. Perdamaian antara suami istri 5. Perdamaian dalam urusan muamalah (utang piutang) Bila ditinjau dari segi masalah yang didamaikan maka shulhu di bagi menjadi 1. Perdamaian ibra yaitu perdamaian dengan cara penguguran kewajiban membayar hutang cukup membayar sebagian 2. Perdamaian mu’awwaddah yaitu menggantikan suatu hak dengan yang lain. D. IQRAR 1) Pengertian Iqrar menurut bahasa adalah pengakuan. Sedangkan menurut istilah ikrar adalah mengakui kebenaran sesuatu yang bersangkutan dengan dirinya untuk orang lain, umpamanya seorang berkata, “ Saya mengaku bahwa saya telah minum arak,” atau “Saya mengaku bahwa saya telah berhutang kepada orang ini.” Ikrar merupakan dalil terkuat dalam penetapan dakwaan pendakwa. Dan Allah berfirman:         Artinya “Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun,terhadap’dirimu’sendiri. (An-Nisa:135). Menurut ahli tafsir, saksi atas diri sendiri itulah yang diamksud dengan ikrar. Ikrar tersebut berguna untuk membuktikan kebenaran, melahirkan budi pekerti yang baik, dan menjauhkan diri dari sesuatu yang batil. 2) . Landasan Hukum Iqrar Para ulama telah bersepakat bahwa iqrar disyariatkan di dalam Al-Qur’an dan sunnah. Sebagaimana firman Allah SWT.                                    •       “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika iaKaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu Karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (An-Nisa:135). Rosulullah bersabda, yang artinya: “pergilah wahai unais pada isteri orang ini. Apabila ia mengakui telah berzina, maka rajamlah”. sambunglah orang yang telah memutuskan tali silaturrahim denganmu; berbuat baiklah kepada orang yang berbuat keburukan kepadamu; dan katakanlah suatu kebenaran walaupun mengenai dirimu sendiri”. (al-jaami ash-Shaghiir 5004). Dari Abu Dzar r.a. ia berkata, “kekasihku Rosulullah SAW. Telah berwasiat kepadaku agar aku melihat orang yang lebih rendah dariku, juga agar aku tidak melihat orang yang lebih tinggi dariku, agar aku mencintai orang-orang miskin, mendekati mereka, menyambung hubungan silaturrahim, meskipun mereka memutuskannya dariku dan berbuat kasar kepadaku. Dan agar aku mengatakan kebenaran meskipun pahit, agar aku tidak takut kepada celaan orang yang mencela dalam menjalankan perintah Allah, agar aku tidak meminta-minta sesuatu kepada seseorang, dan agar aku memperbanyak ucapan laa haula wa laa quwwata illaa billaah, karena itu adalah simpanan didalam surga”. Rosulullah memutuskan suatu hukum dengan ikrar dalam masalah darah, hudud, dan harta benda. 3). Hal-hal yang Berhubungan Dengan Ikrar a. Syarat Sah Ikrar Syarat sah ikrar adalah berakal, balig, ridho, dan boleh melakukan tindakan. Bagi orang yang berikrar tidak main-main dan juga tidak mengikrarkan apa yang mustahil secara akal dan adat kebiasaan. Tidak sah ikrar bagi orang gila, anak kecil, orang yang dipaksa, orang yang dibatasi tindakannya, orang yang main-main, dan orang yang berikrar dengan apa yang mustahil secara akal dan adat kebiasaan. Kedustaan pada hal demikian telah jelas, sedangkan hukum tidak dibenarkan menetapkan berdasarkan kedustaan. b. Rukun Ikrar 1. Yang mengaku, disyaratkan keadaanya ahli tasarruf dan sekehendaknya (dengan kemauan sendiri). 2. Yang diakui olehnya (muqor lah), hendaklah keadaannya berhak memiliki sesuatu yang diakuinya. 3. Hak yang diakui, disyaratkan keadaan yang sebenarnya, bukan kepunyaan yang mengakui ketika ia ikrar. 4. Lafaz, syaratnya, hendaklah menunjukkan ketentuan hak yang diakui. Hak yang diakui tadi, kalau bahaya hak yang bersangkutan dengan Allah semata-mata, minum arak umpamanya, maka yang mengaku itu boleh membatalkan pengakuan yang sudah diakuinya. Umpamanya ia berkata sesudah dia mengaku,”Saya sebenarnya tidak minum arak.” Apabila dia sudah membatalkan pengakuan yang sudah diakuinya, siksaan minum tidak dilakukan kepadanya. Adapun bila hak yang diakui tadi adalah hak manusia, tidak sah dibatalkan. Kalau hak yang diakui itu kurang jelas, hendaklah diminta penjelasan, dan penjelasan itu hendaklah diterima. c. Rujuk. (Menarik) Kembali Suatu Ikrar Apabila suatu ikrar merupakan kebenaran, maka harus ditetapkan oleh orang yang berikrar dan tidak sah baginya untuk menarik kembali ikrar tersebut apabila ikrar tersebut berkaitan dengan salah satu hak-hak manusia. Mengenai ikrar yang berkaitan dengan hak-hak Allah, seperti had zina dan minuman keras, maka bagi orang yang berikrar dibolehkan menarik kembali ikrarnya. Hal ini ditunjukkan oleh kisah perajaman Maiz. Bahwa ketika merasakan sakitnya lemparan batu, dia pun lari. Kemudian para sahabat mendapatinya dan kembali merajamnya. Kemudian hal itu dikabarkan kepada Rosulullah SAW, beliau berkata, “mengapa kalian tidak membiarkannya?.” (HR. Bukhori Muslim). Ikrar orang yang dipaksakan tidak sah. Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah. Beliau mengatakan bahwa Rosulullah SAW bersabda yang artinya: “Sesungguhnya Allah memaafkan apa yang terbesit dalam dada umatku selama dia belum melakukan atau membicarakannya, serta apa yang membuatnya terpaksa.dari orang yang terpaksa”. Artinya Allah menggugurkan taklif (beban/tanggung jawab). Allah membatalkan pengakuan kufur seseorang ketika dipaksa jika hatinya merasa tenang dengan keimanan. Allah berfirman:              •            “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (Dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (Dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (QS. An- Nahl : 106). E. WAKALAH 1. Pengertian Al-wakalah atau al-wikalah, menurut bahasa bermakna At tafwidh yaitu penyerahan, pendelegasian,atau pemberian mandat. Menurut istilah syar’i wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada yang lain dalam hal-hal yang dapat diwakilkan. Firman Allah SWT:              •                         •    “Dan Demikianlah kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka: sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)". mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau setengah hari". Berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.” (QS. AL- Kahfi 19). Utusan tersebut merupakan wakil mereka semua. Dalam sebuah Hadis diriwayatkan: “Abu hurairah berkata: Nabi SAW telah mewakilkan kepada saya untuk memelihara zakat fitrah, dan beliau telah memberi seekor kambing kepada Uqbah bin Amir agar dibagikan kepada sahabat-sahabat,beliau.”(HR.Bukhori). Wakalah memiliki beberapa makna yang cukup berbeda menurut beberapa ulama. Berikut adalah pandangan dari para ulama: a. Menurut Hashbi Ash Shiddieqy, Wakalah adalah akad penyerahan kekuasaan, yang pada akad itu seseorang menunjuk orang lain sebagai penggantinya dalam bertindak(bertasharruf). b. Menurut Sayyid Sabiq Wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada orang’lain,dalam masalah hal-hal yang tentu begitu jelas untuk boleh diwakilkan. c. Ulama Malikiyah, Wakalah adalah tindakan seseorang mewakilkan dirinya kepada orang lain untuk melakukan tindakan-tindakan yang merupakan haknya yang tindakan itu tidak dikaitkan dengan pemberian kuasa setelah mati, sebab jika dikaitkan dengan tindakan setelah mati, berarti’sudah’berbentuk’wasiat. d. Menurut Ulama Syafi’iah mengatakan bahwa Wakalah adalah suatu ungkapan yang mengandung suatu pendelegasian sesuatu oleh seseorang kepada orang lain supaya orang lain itu melaksanakan apa yang boleh dikuasakan atas nama pemberi kuasa. Pada intinya wakalah adalah pelimpahan wewenang dari seseorang kepada yang lainnya dengan adanya akad. 2. Landasan Hukum Wakalah Setiap perkara yang diperbolehkan bagi seseorang untuk melaksanakannya, maka boleh pula mewakilkan atau diwakilkan kepada orang lain. Hukum wakalah ini sunnat, dan kadang-kadang menjadi wajib kalau terpaksa. Dan haram kalau pekerjaan yang diwakilkan itu pekerjaan yang haram, dan makruh kalau pekerjaan itu makruh. Akan tetapi kaum muslimin sepakat atas kebolehannya, bahkan sepakat atas sunnahnya, karena ia termasuk bentuk ta’awun ‘alal birri wa taqwa, karena tidak setiap orang mampu untuk mengerjakan sendiri urusan-urusannya, sehingga ia butuh mewakilkan kepada orang lain untuk melaksanakannya menggantikannya. Firman Allah:  •                                              “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah kamu tolong menolong dalam (mengerjakan) dosa dan permusuhan”. (QS.AL-maidah: 5) Kemudian pengarang kitab Al Bahru menceritakan tentang kesepakatan akan pentasyri’annya. Kemudian dalam statusnya apakah niabah atau wilayah (mewakili atau sebagai wali) ada dua pendapat: a. Ada yang berpendapat sebagai niabah (mewakili), karena mukhalafah (menggantikan diharamkan) b. Ada pula yang berpendapat sebagai wilayah, karena khilafah (menggantikan) dibolehkan untuk yang mengarah kepada lebih baik, seperti jual beli dengan pembayaran segera, padahal diperintahkan menunda pembayaran. Pada dasarnya wakalah adalah akad yang diperbolehkan. Maksudnya tidak harus dilanjutkan oleh orang yang mewakili maupun orang yang diwakili. 3. Hal-Hal Yang Berkaitan Dengan Wakalah a. Rukun-rukun wakalah 1) Ada yang berwakil dan wakil. Keduanya hendaklah memang sah mengerjakan pekerjaanitu dengan sendirinya (untuk setiap pekerjaan yang boleh dikerjakannya sendiri, dia boleh berwakil untuk mengerjakannya, dan dia boleh menjadi wakil pada pekerjaan lain). Oleh karenanya, anak kecil atau orang gila tidak sah berwakil dan tidak sah pula menjadi wakil. 2) Ada pekerjaan yang diserahkan. Syaratnya: a) Pekerjaan itu boleh digantikan oleh orang lain. Karena itu, tidak sah berwakil untuk mengerjakan ibadah. b) Pekerjaan itu telah menjadi kepunyaan yang berwakil sewaktu ia berwakil. Oleh sebab itu, tidak sah berwakil menjual barang yang belum dimilikinya. c) Pekerjaan itu diketahui. 3) Lafaz. Keadaan lafaz hendaklah kalimat yang menunjukkan ridho yang berwakil. Misalnya orang yang berwakil berkata, “Saya wakilkan atau saya serahkan kepada engkau untuk mengerjakan pekerjaan ini.” Tidak disyaratkan lafaz kabul (jawab) karena berwakil termasuk hukum memperbolehkan sesuatu, seperti memperbolehkan memakan makanan kepada orang yang hendak makan makanan itu. Yang menjadi wakil tidak boleh berwakil pula kepada orang lain, kecuali dengan izin dari yang berwakil atau karena terpaksa, umpamanya pekerjaan yang diwakilkan itu amat banyak sehingga tidak dapat dikerjakan sendiri oleh wakilnya, maka dia boleh berwakil untuk mengerjakan pekerjaan yang tidak dapat ia kerjakan. Wakil adalah orang yang mendapat kepercayaan mengurusi apa yang dipegangnya atau apa yang ditanganinya; ia tidak harus menanggung resiko kecuali karena kelalaiannya. Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada tanggungan atas orang yang mendapat amanah.” (Hasan; Shahihul Jami’us Shaghir no: 7518). Akad wakalah boleh dilakukan dengan cara tanjiz atau ta’liq maupun dikaitkan dengan masa yang akan datang. Wakalah juga boleh ditetapkan berdasarkan batasan waktu tertentu atau dengan kerja tertentu. Maksud tanjiz adalah seperti perkataan, “Aku menjadikan engkau sebagai wakilku untuk membeli sesuatu ini.” Sedangkan maksud ta’liq adalah seperti perkataan, “apabila urusan ini telah sempurna, anda menjadi wakilku.” Sementara yang dimaksud mengaitkan wakalah dengan masa yang akan dating adalah seperti perkataan, “ Jika datang bulan ramadhan, maka engkau akan mewakiliku.” Penentuan batasan waktu atau kerja tertentu ialah seperti perkataan,”Engkau menjadi wakilku selama satu tahun atau selama pekerjaan ini.” Hal semacam ini diperbolehkan oleh mahzab Hanafi dan Hambali. Sementara Imam Syafi’i berpendapat bahwa wakalah tidak boleh dikaitkan dengan suatu syarat. Wakalah merupakan bantuan dari orang lain yang mewakili, karena ia melakukan untuk orang lain sebuah tindakan yang bukan kemestian bagi dirinya. Karena itu, ia diperbolehkan mengambil upah untuk perbuatan tersebut. Orang yang mewakilkan kepadanya juga boleh mengajukan syarat bahwa ia tidak boleh berhenti menjadi wakil kecuali setelah batas waktu tertentu. Jika syarat itu tidak dipenuhinya, maka ia berkewajiban mengganti upah tersebut. Jika dalam akad dinyatakan bahwa terdapat upah untuk orang yang mewakili, maka ia dianggap sebagai orang sewaan (upahan) sehingga berlaku hukum ijarah. b. Disiplin Hal-hal Yang Boleh diwakilkan Segala sesuatu yang boleh bagi seseorang untuk dikerjakan sendiri, maka boleh baginya mewakilkannya atau ia yang mewakili atau Segala sesuatu yang boleh diurusi sendiri, boleh juga diwakilkan kepada orang lain, atau boleh juga menjadi wakil orang lain. Para fuqaha meletakkan kedisiplinan untuk hal yang boleh diwakilkan, mereka mengatakan:”semua akad yang boleh diakadkan sendiri oleh manusia, boleh pula ia wakilkan kepada orang lain. Adapun hal yang tidak boleh diwakilkan, adalah semua pekerjaan yang tidak ada campur tangan perwakilan, seperti shalat, sumpah, dan thaharoh. Dalam keadaan-keadaan seperti ini tidak boleh diwakilkan kepada orang lain. Karena tujuan dari pada hal-hal ini adalah ibtila dan ikhtibar (cobaan dan ujian) yang tidak terkena sasaran dengan perbuatan orang lain. c. Syarat-syarat Wakalah Wakalah tidak sah diberlakukan kecuali jika syaratnya sempurna. Syarat tersebut ada yang berhubungan dengan muwakkil (orang yang mewakilkan), ada yang berhubungn dengan wakil (pihak yang mewakili), dan ada pula yang berhubungan dengan muwakkal fih (hal yang diwakilkan) yaitu: 1) Syarat-syarat yang mewakilkan. Bahwa syarat yang mewakilkan adalah, bahwa ia adalah pemilik yang dapat bertindak dari sesuatu yang ia wakilkan, artinya memiliki kekuasaan terhadap suatu tindakan yang ia wakilkan. Jika ia bukan sebagai pemilik yang dapat bertindak, perwakilannya tidak sah. Seperti orang gila dan anak kecil yang belum dapat membedakan. Salah satu dari keduanya tidak dapat mewakilkan yang lainnya, karena keduanya telah kehilangan pemilikan, ia tidak memiliki hak bertindak. Adapun anak kecil yang dapat membedakan, ia sah mewakilkan dalam tindakan-tindakan yang bermanfaat mahdhah seperti mewakilkan untuk menerima hibah, menerima sedekah dan wasiat. Jika dharar mahdhah (berbahaya) seperti talak, memberikan sedekah, memberikan hibah, maka tidak dibebarkan mewakilkan. 2) Syarat-syarat yang mewakili. Dan disyaratkan pada orang yang mewakili: orang yang berakal kalau dia orang gila atau idiot, atau anak kecil yang tidak dapat membedakan, maka tidak sah. Adapun perwakilan anak kecil yang dapat membedakan menurut mazhab Hanafi sah, karena seperti orang yang sudah baligh. Di dalam tindakan persoalan-persoalan dunianya. Dan karena Amar bin Sayyidah ummu Salamah mengawinkan ibunya kepada Rosulullah, dimana pada waktu itu ia masih anak kecil yang masih belum baligh. 3) Syarat-syarat untuk hal yang diwakilkan. Disyaratkan pada hal yang diwakilkan adalah bahwa ia diketahui oleh orang yang mewakili, atau tidak diketahui ia itu buruk laku. Kecuali jika diserahkan penuh oleh orang yang engkau kehendaki, seperti perkataan,” belilah apa saja yang engkau kehendaki.” Dan disyaratkan pula bahwa hal itu dapat diwakilkan. Hal ini berlaku untuk semua akad, yang boleh bagi manusia untuk ia akadkan sendiri, seperti jual beli, sewa menyewa, hutang, dan lain-lain. Al-Bukhaori meriwayatkan dari Abu Hurairah, berkata yang artinya: “Seseorang laki-laki membawa seekor unta muda kepada Nabi SAW, ia kemudian datang meminta dibayarkan. Beliau lalu berseru:” Berilah (bayarlah) orang ini”. Mereka lalu meminta kepadanya unta muda, maka mereka tidak mendapatkannya kecuali lebih tua. Beliau (Rosulullah) kemudian bersabda:”Berikanlah kepadanya:. Orang itu lantas berkata :”bayarlah aku semoga Allah membayarmu”. Rosulullah (lalu) bersabda” sesungguhnya orang yang paling baik di antara kalian adalah orang yang paling baik di dalam membayar”. Hadis ini menunjukkan sahnya perwakilan orang yang hadir dan sehat fisik. Sesungguhnya Rosulullah memerintahkan sahabat-sahabatnya agar mereka membayarkan unta muda yang menjadi kewajibannya. Ini lain adalah sebagai perwakilan (mandat) dari beliau kepada mereka, sekalipun pada waktu itu Rosul tidak sakit dan tidak dalam perjalanan. d. Berakhirnya Kontrak Wakalah Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi terhentinya kontrak al-wakalah, yakni: a) Al-Faskh (pembatalan kontrak) Sebagaimana di atas bahwa al-wakalah adalah jenis kontrak ja’iz min at-tharafain, yakni bagi kedua pihak berhak membatalkan ikatan kontrak, kapanpun mereka menghendaki. Sehingga ketika al-muwakkil memberhentikan al-wakil dari kuasa yang dilimpahkan, baik dengan ucapan langsung, mengirim kabar atau surat pemecatan, maka status al-wakil sekaligus hak kuasanya saat itu juga dicabut. Hal ini berlaku baik al-wakil hadir atau tidak hadir, mendengar atau tidak mendengar tentang perihal pemecatannya. Dan apabila al-wakil sampai terlanjur melakukan tasharruf, maka dinilai batal, meskipun al-wakil belum menerima kabar pemecatan dirinya. Sebanding ketika pihak al-wakil yang mengundurkan diri dari kontrak, maka al-wakalah ditetapkan berakhir meskipun al-muwakkil belum mengetahuinya. b) Cacat kelayakan tasharruf-nya Yakni ketika salah satu dari kedua belah pihak mengalami gila, ditetapkan safih (cacat karena menyia-nyiakan harta) atau falas (cacat karena harta tidak setimpal dengan beban hutang). Atau karena mengalami kematian, baik diketahui oleh pihak yang lain atau tidak. c) Hilangnya status kepemilikan atau hak dari pemberi kuasa (al-muwakkil). Hal ini terjadi ketika al-muwakkil semisal menjual sepeda motor yang dikuasakan kepada al-wakil untuk disewakan, sepeda motor dicuri atau mungkin mengalami kerusakan total. Contoh al-muwakkil yang kehilangan haknya adalah wali yang mewakilkan penjualan harta milik anak kecil tanggungannya, kemudian di tengah berlangsungnya al-wakalah, anak kecil tersebut menginjak usia baligh. Jadi wakalah juga dapat batal atau teputus karena beberapa faktor yang dapat menjadikan terhenti. d) Salah satu pihak yang meninggal dunia. F. ‘ARIYAH 1. Pengertian Ariyah ialah memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada yang lain untuk diambil manfaatnya dengan tidak merusak dzatnya, agar dzat tersebut dapat dikembalikan. 2. Dasar Hukum Hal ini boleh berdasarkan firman Allah SWT :                              •                      •   •     “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (Al-Ma’idah : 2) Meminjamkan sesuatu berarti menolong orang yuang meminjam, adapun hukum meminjamkan sesuatu itu adalah sunnah, bahkan bisa menjadi wajib, seperti halnya meminjamkan kain pada seorang yang sangat memerlukan, dan juga meminjamkan pisau untuk menyembeleh hewan yang hampir mati. Dan juga bisa menjadi haram apabila barang yang di pinjamkan akan di pergunakan untuk hal yang haram. 3. Hal-hal yang berhubungan dengan ‘Ariyah a. Rukun meminjam b. Ada yang meminjamkan c. Ada yang meminjam d. Ada barang yang di pinjam Adapun sarat barang tersebut adalah 1. Ada manfaatnya 2. Sewaktu di ambil manfaatnya zatnya tetap tidak rusak. e. Ada lafadz. b. Mengambil manfaat barang yang di pinjam Yang meminjam boleh mengambil manfaat dari barang yang di pinjamnya hanya sekedar menurut izin yang punya atau kurang dari yang di izinkan. Umpama di meminjam tanah untuk menanam padi, maka dia boleh menanam tanaman yang sama umurnya dengan padi. Seperti halnya kacang dan masih banyak lagi lainya. Kalau barang yang dipinjam itu hilang atau rusakkarena pemakaian yang diizinkan, yang meminjam tidak perlu mengganti karena pinjam meminjam itu berarti percaya mempercayai, tetapi kalau karena sebab lain dia wajib mengganti. c. Mengembalikan yang dipinjam Kalau mengembalikan barang yang dipinjam tadi memerlukan ongkos, maka ongkos ituhendaklah dipikul oleh yang meminjam. Rasulullah SAW bersabda: عَنْ سَمُرَةَ قَالَ النّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الِّيَدِ مَا اَخَذَتْ حَتَّى يُؤَدِّيَهُ (رواه الخمسة الا النسائ). Artinya:” dari Samurah, Nabi SAW bersabda: tamggung jawab barang yang diambil atas yang mengambil sampai dikembalikannya barang itu.” (HR. kutubul khomsah, kecuali Nasa’i). Pada tiap-tiap waktu, yang meminjam dan yang meminjamkan tidak berhalangan bila ingin mengembalikan atau meminta kembali pinjaman, sebab ‘ariyah adalah akad yang tidak tetap. Kecuali apabila meminjam untuk pekuburan, maka pinjaman itu tidak boleh dikembalikan sebelum hilang bekas-bekas mayat, berarti sebelum mayat hancur menjadi tanah, dia tidak boleh meminta kembali. (H. Sulaiman Rasjid, 2011). BAB III PENUTUP Kesimpulan  Dhaman ialah akad yang menetapkan iltizam hak yang tetap pada tanggungan (beban) yang lain atau menghadirkan zat benda yang dibebankan atau menghadirkan badan oleh orang yang berhak menghadirkannya. Kafalah dapat dilaksanakan dengan tiga bentuk, yaitu a. Munjaz (tanjiz) b. Mu’allaq (ta’liq)  Hajru menurut bahasa berarti membatasi atau menghalangi atau mencegah. Menurut istilah adalah membatasi atau melarang seseorang untuk membelanjakan hartanya. .  Sulhu menurut bahasa artinya damai. Sedangakan menurut istilah adalah perjanjian perdamaian antar pihak yang berselisih.  Ikrar menurut bahasa adalah pengakuan. Sedangkan menurut istilah ikrar adalah mengakui kebenaran sesuatu yang bersangkutan dengan dirinya untuk orang lain,  wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada yang lain dalam hal-hal yang dapat diwakilkan  Ariyah ialah memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada yang lain untuk diambil manfaatnya dengan tidak merusak dzatnya, agar dzat tersebut dapat dikembalikan. DAFTAR PUSTAKA ‘Azhim Abdul bin al-Khalafi al-Badawi. 2001. Panduan Fiqih Lengkap. Bogor: Putaka Ibnu Katsir. Al-Bugha, Musthafa Dib. 2009. Fikih Islam Lengkap, Penjelasan Hukum-hukum Islam Madzab Syafi’i. Solo: Media Dzikir. Rasjid, Sulaiman, 2011. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Sabiq, Sayyid. 1987. Fiqih Sunnah Jilid 13. Bandung: PT. Al-Ma’arif. Sabiq, Sayyid. 2006. Fiqih Sunnah Jilid 4. Jakarta: Pena Pundi Aaksara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar